9: Bersama Vero

3.3K 467 5
                                    

Abel duduk di tikar yang telah Vero sediakan. Ia melihat sekitarnya dengan tatapan tak percaya. Ia mencubit tanganya kemudian mengaduh kesakitan. Ini bukan mimpi. 

Seorang Vero di bayanganya jauh dari ini. Di bayangan Abel sosok Vero adalah anak keluarga kaya raya yang berkehidupan mewah, namun kenyataanya justru berkebalikan.

"Kenapa, lo kaget?" ucap cowok itu yang telah berganti pakaian berwarna putih dengan kain tipis tak layak pakai.

"Sekarang gue nggak kaget, kenapa Vero setuju sama tawaran mama," batin Abel.

"Anak anak tau keadaan lo ?"

Vero mengangguk sambil membuka buku yang akan mereka pelajari.

"Lo nggak malu? Terus apa tanggapan mereka liat lo kek gini?"tanya Abel. Abel tidak bermaksud untuk merendahkan cowok itu, ia hanya penasaran.

"Gue cuma miskin bukan buronan polisi," timpal Vero datar.

"Untuk pertanyaan lo yang kedua gue nggak peduli," sambungnya.

Abel kagum dengan Vero, laki-laki itu tidak merahasikan jati dirinya. Kebanyakan orang akan malu jika orang lain mengetahui keadaan finansial yang  kurang berkecukupan. Apalagi di tengah anak anak Merpati Putih yang hampir sembilan puluh persen berasal dari keluarga kaya raya.

"Lo keren, gue jarang nemuin cowok yang apa adanya kaya lo," puji Abel menatap lekat mata Vero.

Pria itu membalas tatapan Abel namun detik berikutnya ia mengalihkan pandangan. "Nih, baca terus kerjain!" Vero menyodorkan buku paket yang tebal nya sekitar empat ratus halaman.

[-100 Poin untuk tokoh Vero]

"Dih, baru di puji udah bikin kesel aja!"

"Lo hobi banget si ngurangin poin gue. Tapi, gue malah makin suka sama lo," gumam Abel mendengus kesal.

"Cepet nggak usah banyak ngeluh!" seru cowok itu.

Abel membaca halaman yang telah di lipat cowok itu. Setelah membacanya Abel sama sekali tidak paham. Abel menatap Vero yang tengah sibuk mengerjakan tugas dengan kacamata yang bergantung di telinganya. Laki-laki itu sangat fokus membuat Abel mengurungkan niatnya untuk bertanya.

Terpaksa Abel mengerjakan soal tesebut dengan mantra adalanya apalagi kalau bukan cap cip cup dan Bismillahirrahmanirrahim, kadang gadis itu juga menggunakan nama lengkapnya untuk memilih jawaban.

"Gue udah selesai." Vero menghentikan aktivitasnya kemudian mengambil buku itu untuk ia koreksi. Vero mencoret semua soal dengan bolpen merah.

"Dari sepuluh soal lo salah sepuluh. Lo ngapain aja di sekolah?"

"Numpang absen doang." balas Abel santai.

Vero mengetuk pelan dahi Abel dengan bolpen di tanganya. "Kalo lo lanjutin kebiasaan lo itu, nilai lo bakal stuck di situ. Lo mau tinggal kelas?"

"Bokap gue bakal nyogok sekolah dan gue nggak bakal tinggal kelas."

"Lo bangga?" tanya cowok itu datar. "Gue tau lo kaya, tapi nggak semua masalah bisa di selesaikan dengan uang."

Abel mematung, ia merasa salah menjawab laki-laki itu. Abel kemudian mengalihkan topik. "Makanya lo harus semangat ngajarin gue jangan setengah-setengah."

"Gue rasa lo harus nemuin motivasi."

"Motivasi?"

Vero berdehem. 

Motivasi ya? Abel tidak pernah memikirkan motivasi untuk belajar. Motivasi untuk hidup saja tidak punya. Abel hidup selama ini hanya mengikuti arus saja. Ia tak pernah berpikir untuk keluar dari zona nyamannya.

"Berarti pr lo hari ini cari motivasi belajar versi lo."

'H—"

"Tidak menerima penolakan!" tegas Vero.

Mulut abel berkomat-kamit menyumpah serapahi Vero. Cari motivasi memanglah mudah yang jadi masalah adalah melaksanakanya. 

Dulu Abel sering medengarkan keluhan temanya yang ingin belajar dengan tekun. Kebanyakan dari mereka mengeluh tentang bagaimana cara mereka menghilangkan rasa malas, dan berakhir di tengah jalan.

Jadi percuma, jika mempunyai motivasi dan niat akan tetapi tidak bisa mencobanya. Bukan tidak bisa sih, bisa jadi teman Abel yang kurang berjuang.

Vero berdiri dari duduknya. " Lo udah minta jemput supir?"

Abel menggeleng.

"Gue nggak bisa nganter lo balik. Habis ini gue mau berangkat kerja, lo bisa pesen ojol, kan?"

Lagi dan lagi Abel di kejutkan dengan kehidupan Vero. Di samping kewajibanya belajar sebagai seorang murid, ia juga berkerja untuk mencukupi kebutuhan.

"Bisa kok, gue baru aja selesai pesen ojol. Mungkin bentar lagi abang ojolnya dateng." Abel tersenyum manis.

"Lo mau gue tunggu atau—"

"No! ngapin? ntar lo telat. Gue nggak mau lo kena semprot  bos lo gara gara nungguin gue." tolak Abel.

"Tapi—"

"Gak ada tapi tapian. Kalo mau so sweet kek gitu di tunda dulu timingnya nggak pas. Ada yang lebih penting dari gue," ucap Abel kepedean.

"Udah sana pergi, hus hus!" usir Abel tanganya ia kibaskan ke depan.

Vero sedikit tak enak hati meninggalkan gadis itu seorang diri di depan rumahnya. Tapi perkataan gadi itu benar. Kalau bosnya tau dia terlambat gajinya akan di potong. 

Dengan berat hati cowok itu meninggalkan Abel yang tengah tersenyum manis sambil melambaikan tanganya.

Abel merasa belajar bersama Vero cukup menyenangkan. Sebab Abel menjadi lebih tau tentang latar belakang sang penjaga hati.

Bukan belajar, tepatnya bersama dengan laki-laki itu membuat hatinya berbunga-bunga.

Ya, walaupun tidak ada interaksi lebih sih, tapi Abel menikmatinya.

[+10 Poin untuk Relationship Vero]


°°°°°

Ada yang inget +10 poin itu tandanya apa? ^_^

All About the Game [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang