~Salah satu tips mengejar jodoh adalah jangan mudah menyerah (Inggita Wimala)~
Hari Jumat..
Aku bangun terlambat pagi ini. Rencananya sih aku ingin bangun pukul tujuh pagi sebelum berbenah dan selanjutnya sarapan pukul delapan. Kemarin Gatra sudah memberitahu kalau kami harus check out dari hotel pukul sembilan pagi, dengan harapan kami bisa lebih leluasa mencari alamat saudara Vikram karena sore hari nanti kami harus kembali Jakarta.
Sial. Aku malah baru bangun tidur pukul delapan pagi lantas terbirit-birit ke kamar mandi. Aku sudah membayangkan mulut nyinyir Gatra kalau sampai kami terlambat check out gara-gara aku keenakan molor.
Tidak sampai lima menit, aku sudah duduk di dekat jendela, mencari tempat terang untuk mulai berdandan. Mandi boleh ekspres, tapi dandan tetap harus paripurna. Apalagi diam-diam aku punya harapan besar bisa bertemu Vikram hari ini.
Tiga puluh menit sesudahnya, aku sudah berlari secepat kilat menuju lift yang membawaku turun untuk sarapan. Artinya sekarang, aku hanya punya waktu lima belas menit untuk sarapan.
Menurutku sih, sebenarnya aku telat bangun pagi bukan seratus persen karena kesalahanku sendiri. Semalam kami baru kembali ke hotel nyaris pukul satu pagi. Setelah Gatra memastikan Surya, anak laki-laki Pak Karnen, mendapatkan kamar dan perawatan layak dari rumah sakit, baru Gatra mau meninggalkan rumah sakit. Dan semalam aku sudah sangat percaya diri bisa bangun pagi pukul tujuh tanpa dibantu alarm dari ponsel. Stupid.
Ketika aku memasuki restoran hotel, dalam sekali sapuan mata, tatapan mataku langsung mendapati Gatra duduk di pojokan restoran. Dua piring kosong sudah ada di atas meja, artinya pria ini sudah lama duduk di sana. Aku menggertakkan gigi, bersiap-siap menerima komentar hinaan apa yang bakal Gatra lontarkan kepadaku.
Aku mengambil sepiring nasi goreng serta segelas teh tawar panas dan membawanya ke meja tempat Gatra duduk. Saat aku duduk di depannya, Gatra tengah menunduk dan sibuk dengan ponsel—seperti biasanya.
"Selamat pagi." Aku menyapa Gatra terlebih dahulu. Tanpa perlu repot-repot menengadahkan kepala, Gatra hanya bergumam pelan untuk membalas sapaanku. Seolah pria ini sudah tahu siapa yang duduk di depannya.
Ah, peduli setan.
Aku mengedikkan bahu lalu fokus menggiring nasi goreng ke atas sendok dan mulai makan dengan cepat. Rasanya tidak seenak nasi goreng buatan mama, tapi lumayanlah buat mengganjal perut.
Aku sudah memasukkan tiga sendok nasi goreng ke mulut, sekarang bersiap untuk sendok ke empat. Sebuah prestasi tersendiri buatku, dalam waktu tidak sampai sepuluh menit aku bisa memasukkan empat sendok nasi goreng ke lambungku. Biasanya untuk menghabiskan sepiring nasi goreng, aku membutuhkan waktu lebih dari tiga puluh menit.
Sayang, kegembiraanku ini tidak berlangsung lama.
Tepat pukul sembilan kurang lima menit, Gatra beranjak dari kursi lalu berdiri di sebelah kursiku.
"Jam sembilan aku tunggu di lobi depan, kita check out bareng. Kalau kamu nggak turun juga aku tinggal."
Apa?! Dia tidak bisa lihat aku lagi makan? Huh. Mau sok-sokan jadi diktator rupanya! Buru-buru aku mendongak untuk protes.
"Papo kang gua mapih makang, Hatra!" Aku bicara dengan mulut penuh nasi. Bodo amat dengan sopan santun!
Gatra berdecak.
"Salah sendiri kamu telat. Kemarin aku sudah bilang kalau kita check out jam sembilan, kan? Buruan. Aku mau ke atas mengambil ransel." Sesudah berkata demikian, dengan entengnya Gatra berlalu mengeloyor meninggalkanku begitu saja.

YOU ARE READING
[END] Mengejar Jodoh
RomanceBagi Inggita, Tuhan pasti mengambil tulang rusuk Vikram ketika Sang Maha Pencipta itu menciptakan dirinya. Tetapi, siapa bisa menduga bagaimana alam semesta mengatur perjalanan bidak hidup manusia di planet ini. Ketika Vikram tiba-tiba memutuskan h...