Bagian 10

58 13 0
                                    

“Rangga baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Rangga baik. Tapi gue rasa, emang gue gak pantes," gumam Inara.

Tanpa sengaja, otaknya me-replay kejadian yang selama ini terjadi padanya. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Rangga, saat cowok itu bersikap aneh padanya, hingga saat Rangga menolongnya.

Tanpa sadar, Inara mulai merasa ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya kala mengingat sikap unik Rangga.

Dia terkekeh pelan. Fokusnya menurun. Padahal niatnya malam ini adalah mempelajari kembali pelajaran yang dibahas gurunya tadi. Tapi, dia tunda. Inara harus mengumpulkan niat untuk menendang jauh-jauh wajah Rangga dari otaknya.

"Rangga gilaa, pergi sono!" usirnya bermonolog sendiri bak orang gila.

Inara menghempaskan tubuhnya diranjang sempit miliknya. Netranya menatap langit-langit kamar dengan lampu yang remang-remang karna sudah berbulan-bulan tidak diganti.

"Bella bener, gue gak selevel sama mereka. Andai gue gak pinter, gue pasti gak ada harapan lagi. Gue kan jelek, miskin, gak populer. Modal otak doang," lirih Inara.

Dengan begitu, dia pasti akan sadar diri dan kembali seperti dirinya sehari-hari yang tidak banyak menuntut. Meski dia ingin seperti yang lain.

"Ra, inget! Lo gak akan ada apa-apanya kalo lo gak belajar dan jadi orang goblok. Galang bilang, kalo lo pinter, lo bakal angkat derajat keluarga lo. Mereka semua gak bakal berani rendahin keluarga lo. Sekali pun itu orang berduit," imbuh Inara dengan semangat. Matanya yang berkaca-kaca, kembali berbinar.

"Lo gak tau Rang, gimana jadi gue. Lo gak pernah rasain diposisi gue, Bel. Jadi, kalian bisa beli segalanya."

Inara menggelengkan kepalanya dengan kuat. Dia bergegas membasuh wajahnya sebelum lanjut belajar.

Detik berikutnya, gadis itu sudah siap dengan tumpukan buku yang ada dihadapannya. Dia akan mulai berperang seperti biasanya.

Inara tidak berhenti menggumamkan apa yang dia pelajari. Sepertinya dia kesulitan untuk mengerjakan beberapa soal. Ditambah lagi beberapa pesan dan panggilan masuk dihandphonenya yang membuyarkan fokusnya.

"Ahh! Kenapa sih nih anak ganggu terus kerjaannya?" gerutu Inara.

Sudah puluhan pesan dan panggilan tidak terjawab dari Rangga. Dan sekarang dia masih saja melakukan panggilan telepon. OMG! Sepertinya hari-hari berikutnya kewarasan Inara sudah mulai dipertanyakan karena ulah Rangga.

"Lo punya dendam kesumat apa sih sampe nelpon gue puluhan kali, hah?" omel Inara usai menggeser panel hijau hingga panggilan tersebut tersambung.

"Sabar, Ra. Gue lagi kangen banget sama lo," jawab Rangga enteng.

Jawaban Rangga itu semakin membuat Inara mengeluarkan tanduknya. Rangga kangen, apa urusannya sama dia?

"Trus, urusannya sama gue tuh apa, sinting? Lo nelpon gue trus ngomong kangen itu gak penting banget buat gue," murka Inara. Fix! Malam ini Inara absen dulu belajar. Bisa-bisa kepalanya pecah setelah emosinya terpancing lalu semakin dipacu dengan belajar.

Ranara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang