Epilog

115 12 23
                                    

Reuni

Apa yang terlintas dipikiran kalian saat mendengar kata ‘reuni’? Pastinya itu adalah salah satu moment dimana berkumpulnya sekelompok atau beberapa kelompok orang yang sudah lama tidak bertemu.

Gadis yang kini memakai baju lengan panjang dan dipadukan dengan celana kulot ini melirik jam ditangannya.
Ia pergi pagi-pagi buta dari rumahnya untuk tiba di tempat yang sudah jarang ia kunjungi selama beberapa tahun ini.

“Udah nyampe mana, Ra?”

“Udah di rumah Ayah nih, sejam yang lalu nyampe disini.”

“Oh syukur Alhamdulillah udah nyampe, ntar jam dua-an gue jemput deh ya,”

“Gak ngerepotin nih, Vi?”

Terdengar suara kekehan ringan disana, “Sans, kayak sama siapa aja. Gampang ntar gue jemput jam segitu.”

“Oke deh.”

“Udah dulu ya, Ra. Ini gue lagi di jalan soalnya, ntar gue kabarin pas otw mau jemput.”

“Iya.”

Setelah itu sambungan telepon terputus, menyisakan Inara yang terlamun karna memikirkan apa yang akan terjadi nantinya.

Reuni ini dihadiri oleh angkatannya saat SMA dulu. Meski ia tidak bersekolah di SMA Baradigma sampai lulus—hanya sampai kelas 11, tapi ia turut dalam bagian angkatan ini. Makanya ia diajak oleh Viola serta teman-teman nya yang lain untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan reuni yang akan diadakan hari ini tepat jam tiga sore.

Reuni ini diadakan di salah satu restoran di kota ini. Meski ini adalah reuni satu angkatan, tapi tidak semuanya bisa berhadir. Pastinya diantara mereka semua ada yang berhalangan hadir entah karna sibuk atau apapun.

Tapi Inara gelisah, masih diselimuti rasa bimbang jikalau ia akan bertemu lagi dengan orang itu. Beberapa tahun belakangan, hidupnya memang terasa sangat damai.

Mempunyai orang tua yang lengkap, harmonis, dan tentunya penuh dengan kasih sayang. Mereka selalu memperlakukan Inara sebagai putri yang sesungguhnya. Apapun yang Inara mau, selalu dituruti. Meski begitu, Inara tidak pernah meminta-minta hal yang aneh ataupun berlebihan. Dalam setahun, ia akan berkunjung kerumah Ayah dan Ibunya sebanyak 3 sampai 5 kali. Dikarenakan kesibukannya untuk sekolah, membuatnya tidak bisa leluasa untuk sering-sering berkunjung ke tempat ini.

Rumah ini banyak berubah, apalagi semenjak Radit—papa kandung Inara merenovasi rumah Ayahnya, Farhan. Yang sebelumnya dinding-dinding nya hanya terbuat dari kayu, sekarang sudah sepenuhnya terbuat dari tembok batu bata. Rumah yang dulunya terlihat sangat kecil dan tampak biasa saja, kini terlihat sangat lebih baik. Rumah bercat kuning dengan taman bunga di depan rumahnya.

“Udah makan belum, Ra?” tanya Ayahnya yang baru kembali dari pasar.

“Oh, udah Yah. Ayah dari pasar beli apa aja?”

Farhan mengangkat keatas plastik yang ditenteng nya, “Nih sayur sama kue kering,”

Inara mengernyitkan dahi, “Tumbenan, biasanya ibu yang beli ginian?”

“Ibu kamu tuh cepet-cepet tadi pergi ke Puskesdes, ada pengobatan gratis katanya.” sahut Farhan seraya ikut duduk di kursi sebelah Inara.

“Loh ibu sakit, Yah?” Tanya Inara khawatir

“Loh enggak, cuma mau cek tensi darah sama ada pembagian obat gratis gitu disana. Makanya ibu kamu pergi kesana.”

Inara menghela nafas lega, “Alhamdulillah deh, aku kira ibu sakit atau apa gitu. Oh iya, Nana kemana ya Yah? Dari tadi aku gak ada ngeliat dia,” tanya Inara

Ranara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang