Bab 5 : Jatuh Cinta

3 1 0
                                    

Sevanya menatap pantulan dirinya di cermin, merapikan kembali rambutnya yang sudah dirapikan sebelumnya. Merasa sudah puas dengan penampilannya dia bergegas menuju keluar rumahnya menghampiri seseorang yang sudah menunggunya dari tadi. Dengan penampilan casual, dia berjalan ke arah mobil yang sudah terparkir di depan gerbangnya.

Terlihat Alya yang menatapnya jutek, sedangkan Sevanya hanya menyengir saja tahu sudah membuat sahabatnya kesal.

"Kenapa lama sekali," decak Alya sambil menghidupkan mobilnya.

"Biasa, aku tadi ketiduran." Sevanya menjawabnya sambil terkekeh membuat Alya mendengus. Mobil mereka pun melaju menembus jalanan sore yang mulai padat karena jam pulang kerja.

Sedikit macet, mereka harus bersabar sambil menunggu lampu merah. Tidak lupa diselingi dengan obrolan-obrolan ringan, hingga tatapan Alya terpaku menatap lengan Sevanya yang di perban. Terlihat perban yang masih baru dan dia yakin Sevanya sebelum ini penyakitnya kambuh. Dia menatap Sevanya iba.

"Ada apa?" Sevanya bertanya melihat tatapan Alya.

"Kalau ada apa-apa jangan sakiti dirimu sendiri, ya?" Alya meminta kepada Sevanya membuatnya terdiam.

Mengerti akan maksud Alya, dia tidak merespon perkataannya. Tibalah mobil mereka di sebuah cafe bergaya modern, setelah memarkirkan mobilnya mereka pun masuk ke dalam dan mencari tempat biasa mereka tempati. Tidak lupa memesan kebutuhan yang mereka inginkan, tanpa menunggu lama hidangan mereka pun tersaji. Beberapa desert yang menggugah selera pun menunggu untuk di santap tidak lupa minumannya.

Sambil menikmati hidangan, Sevanya membuka suara. "Aku kemarin kambuh," ujar Sevanya memberitahu.

"Kau harus berusaha sembuh, Anya." Alya mencoba mendukung Sevanya dan dia pun mengangguk.

"Aku juga tidak mau seperti ini, Alya." Sevanya berkata lirih mengingat kelainan yang dia derita.

"Kau pasti bisa, aku selalu bersamamu." Alya tersenyum dan menggenggam tangan Sevanya untuk menyemangatinya.

"Terimaksih, Al. Kau selalu mendukungku," ujar Sevanya dengan perasaan haru, dia bersyukur bisa menjadi sahabat Alya.

"Kita bersahabat. Sudah seharusnya aku mendukungmu. Jadi bagaimana lukamu?" Tanya Alya.

"Sudah lebih baik dan Reyhan kemarin menolongku," ujar Sevanya dan Alya memekik kaget.

"Reyhan? Reyhan yang mengisi seminar kita dan seorang CEO itu?" Seru Alya bersemangat.

Sevanya mengangguk dan melotot ke arah Alya, "Kecilkan suaramu itu."

Alya menyengir dan menunjukkan kedua jarinya. "Kau beruntung bisa dekat dengan Reyhan," ujar Alya.

Sevanya terkekeh mengingat Reyhan yang begitu peduli kepadanya, "Ya. Dia sangat baik."

Alya menatap Sevanya yang tersenyum-senyum. Merasa aneh dengan sikap sahabatnya itu. "Kenapa kau senyum-senyum seperti itu?" Alya menatapnya heran.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi wajah Reyhan menghantui pikiranku," ujar Sevanya bingung.

"Kau menyukainya?" Tanya Alya menyelidik.

"Aku tidak tahu, tapi aku merasa tenang melihat senyum dan tatapannya," jawab Sevanya.

"Ahhh!! Ternyata kau jatuh cinta kepada CEO itu?" Alya bertanya kembali sambil bertepuk tangan heboh.

Melihat Alya yang kegirangan, Sevanya menendang kakinya dari bawah meja sehingga Alya mengaduh kesakitan. Tidak peduli dengan kaki Alya, Sevanya menatapnya garang. Kini para pengunjung cafe menatap kearah mereka dan dia sangat malu karena ulah Alya.

"Kau membuatku malu," desis Sevanya sedangkan Alya hanya tersenyum bodoh.

"Jadi kau jatuh cinta kepadanya?" Alya kembali mengulang pertanyaannya.

Sevanya mengangkat bahu tidak peduli, tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan. Sambil memakam desertnya dia kembali berkata, "Aku tidak mengerti. Tapi kenapa aku selalu berdebar di dekatnya?" Dia bertanya heran.

Alya terkekeh mendengar penuturan Sevanya, "Itu tandanya kau sedang jatuh cinta."

Sevanya melotot mendengarnya. Bayangan Reyhan kembali memenuhi isi pikirannya, dia menggelengkan kepalanya menghilangkan bayangan Reyhan sambil berpikir-pikir apakah benar dia jatuh cinta kepada CEO itu. Melihat Sevanya yang ling-lung, Alya menabok lengannya cukup keras hingga Sevanya tersentak kaget.

Dia menatap Alya heran, "Kenapa kau memukulku?"

"Kau tidak sadar apa yang kau lakukan? Menggeleng-gelengkan kepala tidak jelas dengan ekspresi yang menjijikkan," ujar Alya dengan kening yang berkerut.

Kini Sevanya yang dibuat kebingungan. Apa benar ekspresiku seperti itu, pikirnya.

Sevanya kembali tersenyum membuat Alya menatapnya ngeri. "Ada apa denganmu?" Tanya Alya.

"Aku jadi merindukannya, Al." Sevanya terkekeh melihat ekspresi sahabatnya yang konyol.

"Tidak salah lagi, kau memang menyukainya." Alya ikut terkekeh dan bersalaman dengan Sevanya, "Selamat. Akhirnya kau jatuh cinta juga."

Di sela obrolan mereka, tidak sengaja mata Sevanya menatap sosok yang familiar baginya. Dia terus menatap ke luar cafe yang memang dindingnya terbuat dari kaca hingga pemandangan di luar terlihat dari dalam. Sosok yang dilihat Sevanya pun memasuki cafe dadanya berdebar hebat. Memejamkan matanya dan memukul-mukul kepalanya merasa ada yang salah dengan dirinya. Alya kembali menatapnya heran.

"Ada apa? Apa kau kambuh lagi?" Tanya Alya khawatir.

"Sepertinya ada yang salah denganku, Al." Sevanya terus menggeleng-gelengkan kepalanya.

Alya panik dan mencoba memegang tangan Sevanya untuk menenangkannya.

"Hey! Berhenti melakukan itu," ujar Alya yang melihat Sevanya memukul-mukul kepalanya.

Sevanya menatap Alya dengan tatapan aneh, "Kau tahu?" Tanya Sevanya ambigu.

"Tidak. Mana aku tau, kau saja belum mengatakannya." Alya menatapnya kesal.

"Kenaoa bayangan CEO itu terus menghantui pikiranku? Dan sekarang aku malah berhalusinasi melihatnya disini," ujar Sevanya.

Alya memutar bola matanya, dia mengira Sevanya kambuh lagi.  Dia sudah sangat khawatir melihatnya seperti itu, tetapi dugaannya salah. Cukup Alya syukuri jika Sevanya tidak kenapa-napa.

"Kau berhalusinasi?" Tanya Alya dan Sevanya mengangguk.

"Iya, aku melihatnya tapi kemana dia? Aku tidak melihatnya lagi," ujar Sevanya sambil mencari sosok Reyhan.

Alya pun mengikuti Sevanya. Dia juga ikut melihat sekitaran cafe untuk memastikan ucapan sahabatnya. Suasana cafe cukup ramai, lumayan susah mencari satu sosok saja. Tetapi dengan ketelitiannya, tatapan Alya terpaku menuju ruangan VIP cafe yang hanya berdindingkan kaca. Terlihat Reyhan yang berbincang dengan seseorang dan bersalaman setelah itu keluar dari sana.

"Kauntidak berhalusinasi, Anya." Alya terkekeh menatap Sevanya.

"Kau serius?" Tanya Sevanya memastikan.

Alya mengangguk. "Tentu. Lihat dia berjalan ke arah kita," ujarnya.

Sevanya terbelalak dan mengikuti arah arah pandangan Alya. Dadanya kembali berdebar, tidak sadar dia memegang dadanya merasakan debaran jantungnya. Dia terus menatap sosok Reyhan yang berjalan ke mejanya dan tatapan mereka pun bertemu.

"Jadi aku tidak berhalusinasi? Kenapa aku jadi degdegan seeprti ini," ujar Sevanya pucat.

"Ya. Sepertinya dia akan menghampiri kita," ujar Alya terkekeh dan kembali menatap Reyhan yang semakin dengan dengan mejanya. Hingga setelah itu Reyhan sudah berdiri di sisi meja mereka dengan senyum ramahnya menyapa Sevanya.

"Sevanya ...."

***
-Chapter ini ditulis oleh Mila~-

Garis Takdir Sevanya Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin