Bab 6 : Membantu

2 1 0
                                    

"Sevanya...."

Sevanya terkesiap. Reyhan sekarang sudah berada di hadapannya. Gadis itu sungguh terkejut. Tidak menyangka akan terjadi pertemuan seperti ini.

"Re-Reyhan?" gumam Sevanya tanpa sadar.

Tatapannya terus terpaku pada sosok bertubuh kekar dan wajah yang tampan bak dewa Yunani. Alya yang melihat tingkah sahabatnya itu terkekeh kecil.

"Nya, Anya! Hei!" tukas Alya dengan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Sevanya.

Sevanya terhenyak. Ia tersenyum canggung. Membuat Reyhan yang sedari tadi juga memperhatikan kelakuannya terkekeh pelan. Merasa gemas dengan kelakuan gadis itu.

"Ah! Maafkan aku."

"Apa yang kau perhatikan, hm?" tanya Reyhan. Suara bariton yang khas itu terdengar merdu di telinga Sevanya. Dan sepertinya, gadis itu belum menerima kenyataan.

Melihat Sevanya yang tak kunjung menjawab, Alya pun menyahut. "Kami hanya sedang refreshing ke sini. Sedangkan Tuan sendiri, sedang apa?"

"Saya baru saja selesai rapat bersama klien saya. Dan juga, sepertinya kalian tidak perlu memanggil saya tuan. Itu terlalu formal," tukas Reyhan dengan kekehan pelan yang keluar dari bibirnya.

"Hm ... kalau begitu, Bapak?" ujar Sevanya kurang yakin. Gadis itu memasang wajah berpikir. Alya yang melihatnya menepuk jidat melihat kelakuan temannya yang sepertinya sedang jatuh cinta.

"Bapak, hm? Sepertinya saya terlalu tua untuk panggilan seperti itu. Lebih baik panggil saya Reyhan saja. Supaya lebih akrab." Reyhan tersenyum.

Hal itu sontak membuat Sevanya salah tingkah, "B-baik, Pak. Eh, m-maksudnya Reyhan."

"Kalau begitu, bolehkah saya bergabung?" tanya Reyhan.

"Hah? Tentu saja. Silahkan duduk." Sevanya langsung mempersilahkan Reyhan menduduki kursi yang ada di sebelahnya tanpa pikir panjang. Alya hanya memaklumi, mungkin hal ini bisa membantu acara pendekatan antara Sevanya dan Reyhan. Walaupun dalam hati gadis itu berusaha untuk tak menyemburkan tawanya di hadapan kedua orang itu.

"Jadi, kalian sudah memesan makanan?" Reyhan memerhatikan meja mereka yang masih kosong. Hanya berisi sebuah pot bunga kecil dengan bunga mawar plastik yang ada di dalamnya. Dan juga sebuah buku menu berwarna merah bercampur hitam.

Alya menggeleng. "Belum, kami belum sempat memesannya."

"Baiklah kalau begitu, pesan saja apa yang kalian mau. Biar saya yang membayar nantinya," ucap Reyhan dengan senyum hangatnya.

"Ah! Tidak usah! Biar kami yang membayar makanan kami sendiri," sahut Sevanya gelagapan. Alya yang kesal karena penolakan dari Sevanya pun menginjak kaki sahabatnya itu.

'Kan lumayan makan gratis,' pikir Alya.

Sevanya memekik tertahan. Ia memandang tajam ke arah Alya yang juga sama memandangnya dengan tatapan tajam. Namun setelah itu malah memperlihatkan cengirannya.

"Tidak usah sungkan begitu. Anggap saja kalau ini sebagai ucapan terima kasih karena kalian telah kau menerimaku di sini." Reyhan kembali menampilkan senyum hangatnya membuat beberapa perempuan pengunjung _café_ yang melihatnya langsung berteriak histeris. Ada yang berniat untuk menghampiri, namun langsung di cekal oleh temannya.

"Hm ... baiklah kalau begitu," Sevanya tersenyum canggung. Gadis ini memasuki tipe nolak-nolak tapi mau seperti kebanyakan orang lainnya. Seperti orang yang baru mengenal apa itu namanya cinta.

Reyhan terkekeh melihat kelakuan gadis itu. 'Lucu sekali,' pikirnya.

"Waiters!"

***

Di sebuah kamar bernuansa merah jambu dengan beberapa pajangan berwarna hitam dan putih. Terlihat seorang gadis tengah berbaring dengan memegang ponsel yang di dekapnya. Senyum terus mengembang dari bibir kecil berwarna merah Cherry itu.

Gadis itu-Sevanya Caroline-sedang asik-asiknya memperhatikan foto seseorang yang ada di dalam ponselnya. Itu adalah foto seorang pria-Reyhan Kingquard Alamsyah-seorang CEO sukses yang memiliki banyak cabang perusahaan di Indonesia bahkan sampai ke mancanegara.

Di dalam foto, terlihat pria itu tengah berdiri sembari membenarkan kain kemeja berwarna hitam abu-abunya. Tak ada senyuman, namun hal menimbulkan kesan cool tersendiri dalam dirinya. Sepertinya foto itu di ambil saat pria bermarga Alamsyah itu tidak sadar.

"Aaaa, ganteng banget, sih!" teriak Sevanya dengan bibir yang sudah mesem-mesem sendiri; tidak tahan untuk tidak tersenyum.

"Apa aku cari aja alamatnya, ya? Kan lumayan silaturahmi, hehehe." Sevanya cekikikan sendiri karena ucapannya.

Gadis itu tanpa lama kembali membuka handphonenya yang baru saja mati lalu membuka aplikasi google. Mengetikkan nama dari CEO yang beberapa saat lalu selalu memenuhi pikirannya.

Setelah menemukan apa yang dia mau, Sevanya kembali berteriak bahagia. Besok pagi ia akan segera bertemu kembali dengan pria itu.

Sevanya kembali memikirkan sesuatu. Gadis itu lalu membuka aplikasi berwarna hijaunya berniat untuk mengirim pesan kepada seseorang.

Sevanya
Al, kamu punya nomernya kak Reyhan nggak?

/Send.

Tak selang beberapa menit, pesan yang di kirimkannya sudah di baca oleh Alya.

Alya❤️
Ada, Nya. Kenapa?

Sevanya
Ih.... Kok kamu punya sih?

Lihatlah, aturan seharusnya gadis itu senang sekarang malah kesal karena sahabatnya mempunyai nomer ponsel pujaan hatinya sedangkan dia sendiri tidak memilikinya.

Alya❤️
Secara kan, gue gitu, Nya. Apa sih yang seorang Alya ini tidak bisa dapatkan?

Sevanya
Ih... Alya. Aku serius tau.

Alya❤️
Lah, aku juga serius.

Sevanya
Yaudah, gimana caranya kamu bisa dapetin nomernya?

Alya❤️
Rahasia dong

Sevanya
Ih... Alya!

Perdebatan kecil terjadi antara dua gadis itu, walaupun akhirnya, keduanya sama-sama mengalah. Alya juga mengirimkan nomer ponsel Reyhan kepada Sevanya demi membantu kisah percintaan sahabat satu-satunya yang harus sangat ia jaga.

Setidaknya, dengan seperti ini dapat membuat Sevanya melupakan segala trauma dan penyakitnya. Itulah yang ada di pikiran Alya. Ia pasti akan melakukan apapun demi membuat sahabat yang sudah ia anggap saudara itu bahagia.

***

Sevanya memandang rumah yang ada di depannya saat ini, setelah itu kembali memandang sebuah kertas kecil berisikan sebuah alamat.

Gadis itu menggeleng tidak percaya. Rumah yang ada di hadapannya ini tidak layak di sebut rumah. Karena, rumah besar dan kemewahan yang terlihat jelas itu lebih pantas di sebut istana. Bayangkan saja, rumah dengan di dominasi oleh warna putih dan gold terlihat sangat elegan di pandang mata. Dan di lihat dari luar, rumah itu memiliki empat sampai lima tingkatan.

"Mungkin saja untuk menghapal peta rumah ini butuh berbulan-bulan lebih," ucap Sevanya bermonolog sendiri.

Setelah itu, tanpa pikir panjang, gadis itu melangkahkan kakinya untuk masuk menuju kediaman keluarga Alamsyah itu, walaupun dengan langkah tak yakin, ia terus berjalan. Namun, langkahnya terhenti.

Seorang pria dengan wajah rupawan menepuk punggung Sevanya dari belakang. Raut wajah pria itu terkesan dingin.

"Siapa kau?" tanyanya ketus.

"Eh?"

***

-Chapter ini ditulis oleh Angeli ^.^-

Garis Takdir Sevanya Where stories live. Discover now