Bab 9 : Bertemu

2 0 0
                                    

Setelah berada dikamar, tiba-tiba notif HP-nya berbunyi. Sevanya menatap layar benda pipih itu. Dadanya kembali berdebar. Tangannya bergerak membuka notif bertuliskan nama Reyhan.

Isi pesan tersebut mampu membuatnya terpaku di tempatnya.

Reyhan
Sevanya, apakah kamu mempunyai waktu luang besok pagi?
Jika ada, bisakah kita bertemu?
Tolong datang ke hot cafe's, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.
Ini penting, saya harap kamu bisa datang.
                                                     (Read)

Sevanya masih saja diam terpaku, masih mencerna. Sejenak, kilasan memori tentang kejadian beberapa hari yang lalu terlintas di otaknya.

Mungkin saja Reyhan mengajaknya bertemu untuk meminta maaf tentang hal itu. Senyum Sevanya mengembang. Ia tau Reyhan tidak akan marah padanya karena dia bukan orang yang seperti itu. Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu segera mengetikkan 'ya' pada room chat Reyhan lalu mengirimnya.

Sevanya memeluk gulingnya gemas. Sungguh, ia tak sabar untuk menunggu hari esok tiba. Ia berharap agar malam ini segera berlalu.

Terus bergulat dengan pikirannya. Tiba-tiba saja senyum Sevanya memudar. Satu hal terlintas tiba-tiba di benaknya.

Besok pakai baju apa?

Inilah sifat alamiah seorang perempuan. Menjaga diri dan penampilan adalah hal utama, tidak terkecuali untuk Sevanya. Apalagi mengingat jika besok pagi ia akan bertemu dengan orang istimewa. Tidak mungkin dia tidak berpakaian dengan cantik.

Ini tidak bisa di biarkan.

Gadis dengan rambut hitam panjang terurai itu bangkit dari posisi berbaringnya lalu segera berjalan menuju lemari pakaian. Gadis itu memperhatikannya sejenak.

Sevanya memasang wajah berpikir yang terlihat sangat lucu, "Hm ... pake baju apa, ya?"

Tak butuh waktu lama, Sevanya segera mengobrak-abrik isi lemari pakaian berwarna merah muda itu. Di angkatnya satu-persatu baju yang menurutnya cocok untuk di pakai besok pagi. Beberapa pakaian ia lempar lalu mengambil yang lain.

"Pakai yang mana, ya? Yang biru, putih, atau merah?" tanyanya pada diri sendiri.

"Ah, gak jadi." Sevanya melempar asal baju yang baru saja di pegangnya. Tak peduli letaknya yang acak dan berantakan. Kamarnya di penuhi oleh pakaian dimana-mana. Sudah seperti kapal pecah. Namun masih saja gadis itu belum menemukan pilihannya.

Akhirnya, atensi gadis itu tertuju pada sebuah baju sepaha berwarna coklat dan sebuah celana jeans selutut berwarna putih.

"Pake ini aja, ya? Terus nanti pake kaos putih juga biar makin keren kayak anak SMA." pertanyaan yang di jawabnya sendiri dengan anggukan itu membuat hati Sevanya langsung senang dan tenang seketika.

Dengan perasaan senang, Sevanya menyimpan rapi baju yang akan di pakainya besok pagi. Namun, ekspresinya berubah muram saat berbalik badan dan melihat isi kamarnya.

"Astaga ... aku ngapain tadi?" Sevanya menggelengkan kepalanya akan sikapnya yang terlalu bersemangat. Sekarang ia harus kembali mengatur ulang seluruh pakaiannya yang sudah berantakan di seluruh kamar.

"Hah ... oke, Vanya. Ayo kerja!"

***

Mentari dengan sinarnya telah terbit dari ufuk timur bagai memberikan senyum bahagia. Langit yang cerah namun berawan menambah kesan yang damai di ibukota. Dengan hembusan angin yang menerpa wajah dan suara kendaraan yang memekakkan telinga.

Gadis itu–Sevanya Caroline–sedang berjalan di trotoar. Lebih tepatnya mencari letak cafe yang yang di tujunya saat ini. Melalui bantuan dari google maps, gadis itu terus berjalan hinggap berhenti di depan sebuah bangunan, tempat yang di tujunya.

"Hot cafe's. Benarkan ini tempatnya?" Sevanya kembali memandang layar ponselnya untuk memastikan. Gadis itu lalu mengangguk. Ia yakin kali ini.

Dengan menggenggam tali tas kecilnya erat, Sevanya melangkahkan kakinya ke dalam cafe. Suara lonceng berbunyi karena terkena pintu yang terbuka menggema dalam pendengarannya.

Gadis itu mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan orang yang kiranya sudah menantinya cukup lama mengingat dia yang sempat tersesat di jalan. Dan hal itu yang membuatnya harus mempersiapkan diri untuk menghilangkan kesan buruk dari dirinya nanti.

Hingga pandangan gadis itu tertuju pada seorang pemuda yang duduk sendirian di pojok cafe sembari memainkan ponsel. Ia kenal orang itu dan dialah yang sedang di carinya.

Sevanya segera melangkahkan kakinya menuju tempat Reyhan berada.

"Hai! Maaf, aku telat," ucap Sevanya canggung pada Reyhan yang kelihatan terkejut akan kedatangannya tiba-tiba.

"Ah, tidak apa-apa. Saya juga baru datang." sungguh kebohongan yang di lontarkannya. Padahal kenyataannya dia sudah datang lebih dari tiga puluh menit yang lalu mengingat dirinya merupakan orang yang sangat disiplin.

Terjadi kecanggungan di antara kedua insan itu. Belum ada yang membuka suara lebih dulu. Reyhan menghela napas.

"Kau mau pesan apa? Pesanlah dulu. Lebih baik kita makan sebelum berbicara," ucap Reyhan dengan senyuman indahnya. Pemuda itu menyodorkan buku menu yang ada di hadapannya kepada Sevanya. Yang langsung di terima dengan sungkan oleh gadis itu.

Tak perlu lama, Sevanya sudah menentukan pesanannya. Begitu pula dengan Reyhan yang menyamakan pesanannya dengan Sevanya yang membuat gadis itu tersenyum malu.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Sevanya yang kembali memulai percakapan.

"Itu ... saya hanya ingin minta maaf atas sifat saya beberapa hari lalu. Mungkin saat itu karena terlalu lelah, saya tidak sadar atas apa yang saya perbuat." Reyhan menjelaskan maksud dari ajakannya untuk bertemu. Raut wajahnya menampakkan penyesalan yang kentara.

Sevanya mengangguk dengan tersenyum, "Tidak apa. Aku paham, kok."

"Terimakasih."

Di tengah perbincangan hangat dua orang itu, seseorang tiba-tiba menyela. Ternyata itu adalah seorang waiters yang mengantarkan makanan mereka. Setelah Reyhan mengucapkan terimakasih dan memberi waiters tersebut sedikit tip, waiters itu pergi dari hadapan mereka.

Mereka pun mulai memakan makanannya tanpa ada yang membuka suara. Hening. Itulah kata yang bisa menggambarkan suasana di antara dua insan itu.

"Em ... Sevanya? Apa itu di wajahmu?" tanya Reyhan yang kelihatan ragu.

"Ah? Dimana?" Sevanya terus meraba bagian wajahnya namun tak menemukan apa-apa.

"Maaf sebelumnya." Reyhan sedikit berdiri dari duduknya lalu meraih sebutir nasi yang bertengger manis di atas bibir Sevanya.

"Eh?"

"Ini. Ada nasi di sini."

Sevanya hanya mampu terpaku. Kedua pipinya terasa panas dan ia yakin wajahnya juga telah memerah karena malu.

"Te-terima kasih."

***
-Bab ini dituangkan oleh Angeli :)-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Garis Takdir Sevanya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang