Bab 7 : Orang Berbeda

2 1 0
                                    

"Hay, Reyhan," sapa Sevanya sambil melambaikan tangan. Walau begitu Sevanya merasa ada yang berbeda dari perawakan lelaki di depannya ini, namun ia tak tau apa itu.

Lelaki di depannya menaikkan alis sebelah, bingung dengan cewek di depannya yang tiba-tiba menyebut dirinya Reyhan-kembarannya-.

"Minggir gue mau masuk." Tak berucap apapun, Rayhan langsung masuk ke dalam rumah.

Sevanya merasa dia diabaikan begitu saja langsung menarik kembali tangan Rayhan yang ia tau Reyhan.

"Rey, kamu marah sama aku?" Dia tak yakin salah apa dia pada Reyhan tapi yang pasti ia akan mencari tau.

Rayhan menepis tangan Sevanya kasar, matanya menatap cewek di depannya itu nyalang. Seperti elang melihat buruannya.

"Lu tuh siapa, ha?! Berani-beraninya megang gue!" Bentak Rayhan sambil menunjuk-nunjuk wajah Sevanya.

"Lu mau ngemis jangan di sini. Noh, di pasar banyak kawanan lu," ucap Rayhan. Sevanya mendengar itu mengepalkan tangan, harga dirinya serasa diinjak sekarang. Apalagi saat beberapa asisten rumah tangga yang tak sengaja lewat tertawa mendengar kata-kata lelaki di depannya itu.

"Jaga kata-kata anda, Pak!" Sevanya ikut menekan setiap kata-katanya.

"Saya punya harga diri, dan dibekali akal serta hati nurani saya juga dapat menghormati orang lain." Mata Sevanya memerah. Entah kenapa dirinya serasa sakit mendengar setiap kata terlontar dari lelaki yang ia cintai saat ini.

Rayhan terkekeh sinis, memasukkan kedua tangganya di saku. Ia menatap Sevanya seakan tak berarti apa-apa.

"Berapa yang lu butuh sih? Sini gue kasih. Kasian gue liat lu." Rayhan mengeluarkan dompetnya, siap memberikan Sevanya uang bernilai banyak. Namun hal tak terduga terjadi, wajah yang ia jaga bertahun-tahun secara cepat diludahi oleh gadis sialan di depannya.

Sevanya langsung pergi, ia memacul high heels yang serasa sulit untuk diajak jalan. Sedang Rayhan wajahnya sudah benar-benar merah padam. Tangannya terkepal hingga urat ungu nya terlihat.

"Cewek sinting! Sialan! Awas lu!" Umpat Rayhan keras, ia masuk kedalam rumah.

Baru saja Rayhan ingin masuk ke dalam kamarnya. Reyhan yang berada tak jauh dari dirinya menatap bingung kearahnya.

"Kenapa lu?"

Rayhan mendengus kesal, biang dari masalah tadi pasti dari kembarannya ini.

"Lu kalo lagi deket sama cewek, bisa enggak sih jangan di bawa ke rumah!" Rayhan berucap kesal. Dia menunjuk wajahnya, "Nih! Gara-gara tuh cewek lu, muka gue kena ludah, bangsat!" Rayhan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Reyhan yang mengingat siapa cewek yang Rayhan maksud.

"Apa Sevanya yah?"

****

"Sudah Sev, tenang ...." Alya mengusap pelan bahu Sevanya yang berguncang karena menangis. Ia tak percaya juga tak habis pikir dengan cerita yang di ceriakan Sevanya.

"Pak Reyhan mungkin lagi gak mood, Sev. Siapa tau kan, dia tuh lagi capej kerja dan lu datang enggak tepat," terang Sevanya mencoba menenangkan temannya itu. Sevanya yang memendam wajahnya dengan bantal, lantas langsung duduk di atas kasur Alya.

"Beneran?" tanyanya dengan menarik ingus yang keluar.

Alya mengangguk keras. Ia tertawa pelan saat wajah Sevanya berubah drastis. Dari ailinernya yang luntur, gincu merah cemong keluar dari bibir, serta rambut yang sudah acak-acakan tidak jelas.

"Keadaan lu lebih memperhatikan, Sev," ucap Alya diselingi tawa.

Sevanya mengerucutkan mulut, saat ini dirinya kesal ditertawakan. Karena mengingat lelaki tadi juga tertawa menatapnya.

Pagi menjelang, semalam Sevanya tidak pulang. Ia menginap di rumah Alya. Dan pulang ketika dirinya sudah agak baikan.

Dari arah luar kamar, suara Ani-Ibu Alya- terdengar memanggil dia dengan Alya untuk sarapan ke bawah.

"Iya Tan, aku sama Alya bentar lagi turun. Anak tante masih jadi kebo," jawab Sevanya.

"Siram pake pake air got aja, Nya. Kalo susah bangunin tuh anak," saut ibu Alya diikuti ketawa.

Sevanya geleng-geleng mendengar ibu Sevanya. Tante Ani itu baik, ia juga ramah, dan perhatian. Hanya saja jika menyangkut anaknya ia agak sedikit bercanda.

Katanya gini, "Kalo sama orang, boleh jadi orang. Tapi kalo sama anak, harus jadi temannya. Biar kita tau bagaimana anak kita di luar maupun dalam. Jadi kita harus jadi orang terdekat, bukan sebagai Ibu ataupun orang tua, tapi sebagai seorang teman." Sevanya tersenyum, harusnya kata itu yang di dengar Ibunya. Bukan dirinya.

"Hoam ...." Lamun Sevanya teralih saat mendengar orang yang di bicarakan tadi sudah bangun dengan sendirinya.

"Pagi dunia tipu-tipu." Seru Alya pada jendela samping kasur.

"Enggak usah ngomong ngelantur lu, sana cuci muka terus ke bawah. Ibu lu udah ngajak sarapan." Alya membalas anggukan. Dia berjalan sempoyongan ke kamar mandi.

"Awas ke jed-" belum selesai ucapan Sevanya. Jidat Alya sudah berciuman pada dinding samping pintu kamar mandi.

Alya meringis pelan, "Yang taruh dinding di sini siapa sih?!" Marahnya pada dinding.

Sevanya tertawa, ia membantu temannya. Mengarahkannya pintu kamar mandi dan langsung mendorongnya masuk.

"Kurang ajar lu Sevanya kambing!" Sevanya tertawa, tidak biasa dirinya pagi-pagi begini sudah di buat ketawa.

Seusai bersih-besih di kamar, dua anak gadis itu pun turun kebawah. Melihat mama Alya yang sudah menunggu keduanya.

"Lama banget sih, mama sampe lumutan di sini," keluh Ani cemberut.

Alya menatap mamanya, "Untung enggak di makan sama keong."

Jidat yang sudah membiru karena berciuman dengan dinding kamar mandi tadi. Kini, harus bercipokan kembali dengan sendok sayur lemparan dari bunda rahayunya.

"Mamah! Ini tuh udah kepentok dinding, kenapa mamah malah tambahin sih!" Protes Alya sambil mengadu sakit.

Tawa Sevanya yang sudah tak tertahan, langsung keluar dengan nyaring. Meja makan yang hanya di isi tiga orang, tapi ributnya mengalahkan perebutan bansos di balai desa.

***
-Chapter ini ditulis Rahmawati!-

Garis Takdir Sevanya Where stories live. Discover now