Kehilangan

1.5K 117 0
                                    

Pesawat akan landing, seketika itu juga Rembulan mencengkram pegangan kursi pesawat sambil memejamkan mata. Dia tidak perduli dengan Raditya yang tertawa terkekeh.

Biarlah dia terlihat lucu atau norak, karena dia benar-benar takut.

Begitu pesawat sudah berada di landasan pacu dan mengurangi kecepatan, barulah Rembulan merasa lega.

Raditya memandang ke arahnya, Rembulan melihat sekilas lalu sibuk merapikan bawaan.

***

Rembulan berjalan bergegas, dia hanya membawa tas tangan dan koper yang ditaruh di bagasi.
Dia tidak merasakan tangan Raditya di pundaknya untuk menghentikan langkahnya.

***

"Bulan!" Raditya memanggil Rembulan, tapi perempuan itu terus berjalan. Mungkin dia tidak mendengar, apalagi ada seorang anak kecil yang sedang menangis dengan suara keras. Raditya disergap rasa jengkel, apalagi langkahnya dihalangi oleh penumpang lain yang terburu-buru hendak turun.

Raditya hanya ingin bertukar nomor telpon, dia merasa tertarik untuk mengenal perempuan itu.
Kenapa dia berjalan begitu cepat? Kenapa telinganya tidak mendengar suaraku?

Raditya segera berjalan cepat setelah berhasil mengurai orang-orang yang menutupi jalannya. Mungkin masih bisa bertemu di tempat pengambilan bagasi.

Dan langkahnya harus berkali-kali terhenti oleh orang-orang yang meminta foto bersama. Pantang bagi Raditya untuk menolak, dia tidak ingin mengecewakan penggemarnya.

Sampai di tempat pengambilan bagasi, orang yang mengantre mulai sedikit. Sosok Rembulan tak terlihat, perempuan itu telah pergi. Raditya hanya bisa memaki dalam hati. Akan ku cari dirimu.

***

Sepertinya aku mendengar ada yang memanggilku? Siapa? Penggemarku? Tak mungkin...tak ada yang mengenal sosokku. Walaupun novelku pernah menjadi novel terlaris bahkan difilmkan, tapi tak ada yang benar-benar mengenal aku kecuali Sarah.

Tak pernah ada nama Rembulan pada cover novelku. Aku memakai nama pena dan tak ingin sosokku diketahui orang. Kalau penulis lain akan bangga mencantumkan siapa dirinya pada bagian akhir halaman buku bila perlu lengkap dengan foto diri, tapi tidak denganku. Aku tetap merahasiakan keberadaan ku. Dibagian belakang halaman novelku hanya mencantumkan karya-karya yang sudah ku tulis. Tanpa foto diriku. Aku tak suka, dan biarlah menjadi suatu misteri.

A-Luna, itu nama penaku. Aku suka musik makanya aku menambahkan huruf A di depan kata Luna yang berarti bulan. A-Luna seperti bunyi Alunan. Ah, aku harap kalian mengerti maksudku.

Rembulan terus melangkah cepat. Dia tidak ingin supir yang ditugasi Sarah menjemputnya terlalu lama menunggu. Lagi pula Rembulan sudah ingin cepat sampai dan bisa segera berbaring. Tubuhnya lelah semenjak pagi sudah harus melakukan perjalanan.

Rembulan menoleh sebentar ke belakang, mencari sosok Raditya. Namun ternyata tak terlihat.

Siapa aku yang akan diikuti oleh orang terkenal macam Raditya? Nggak usah GR deh...Mungkin sekarang Raditya sudah melupakan aku. Apalagi kalau dia bertemu dengan penggemarnya yang cantik-cantik.

***

Rembulan melihat seorang laki-laki memegang kertas putih bertuliskan namanya, laki-laki itu tersenyum kepadanya sambil memanggil namanya untuk memastikan.

"Benar ini Ibu Rembulan?"

"Ya betul ,Pak. Bapak yang diminta Ibu Sarah menjemput saya ya?"

"Oh iya Bu, kenalkan saya Pak Sugeng." Sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Rembulan. "Tapi foto dengan aslinya beda ya, lebih cantik aslinya," kata Pak Sugeng spontan.

"Ah masak sih Pak, padahal kalau foto bisa diedit harusnya terlihat lebih cantik." Rembulan tersenyum lebar.

"Saya boleh lihat foto yang dikirimkan Sarah Pak?" Rembulan jadi penasaran.

"Ini Bu." Pak Sugeng mengulurkan ponselnya. Rembulan terkejut, dia tak menyangka Sarah akan mengirimkan fotonya yang terlihat seperti orang yang sembelit tiga hari.

Sialan si Sarah ! Jelas aja lebih cantik aslinya ! Foto yang itu mau diedit kayak gimana juga tetep nggak bisa kelihatan cantik. Apa dia kekurangan stok fotoku? Baiklah, nanti malam akan ku bombardir ponselnya dengan foto-fotoku. Dia menyeringai jahat.

***

Raditya menaiki mobil yang menjemputnya dan langsung melaju menuju hotel yang sudah disiapkan untuknya dan kru. Mereka akan melakukan syuting kurang lebih satu bulan.

Di dalam mobil, Raditya memilih untuk memejamkan mata. Tak ada gairah untuk bicara. Biasanya dia akan mengajak supir ngobrol atau orang lain yang bersama dirinya dalam mobil. Raditya tak mengerti mengapa dia jadi begini, mungkin dia kelelahan. Raditya mencoba untuk tidur, berharap dengan tidur bisa mengusir rasa lelah dan dia bisa segar kembali saat tiba di hotel. Apalagi malam hari nanti mereka akan mulai syuting. Produser dan sutradara tidak mau mengulur-ulur waktu. Raditya termasuk terlambat datang, kru yang lain dan beberapa artis sudah berada disitu beberapa hari sebelumnya. Raditya terlambat karena masih harus menyelesaikan syuting untuk iklan dan beberapa acara off air yang mendapuk dia sebagai bintang tamu. Jadwalnya padat, untunglah pihak produser dan sutradara mau mengerti bahwa dia sudah terikat kontrak dan tak mungkin memutusnya begitu saja.

Wajah Rembulan muncul tanpa diundang. Ah, sialan !....sepertinya aku merindukan perempuan itu.

Raditya membuka ponselnya, mencari tahu tentang Rembulan lewat mesin pencarian. Tak ada satupun keterangan tentang Rembulan sang penulis. Perempuan itu seperti hilang terbawa angin. Kemana harus ku cari dirimu?

Raditya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dia merasa kesal, tapi tak tahu harus bagaimana melampiaskan rasa kesalnya. Perempuan itu seperti menyihir dirinya dan membuatnya menjadi seperti ini. Tak bergairah, padahal dari kemarin dia sangat bersemangat pergi ke lokasi syuting. Apalagi kalau syuting di luar kota dan mereka akan syuting di lokasi yang menyajikan alam yang indah.

Perempuan itu sudah merusak semangatnya. Raditya menghembuskan nafas keras, berharap bisa mengusir rasa sebalnya. Matanya kembali dipejamkan. Berusaha untuk tidur, tadi supir mengatakan perjalanan ke tempat lokasi sekitar dua  sampai tiga jam, tergantung keadaan jalanan.

***

Rembulan memandangi lingkungan di sekitar villa, semua terasa indah dalam pandangan matanya. Ada gunung yang melatarbelakangi, tampak berwarna biru dari kejauhan bagaikan menyatu dengan warna langit. Di depan villa masih terhampar sawah yang menghijau. Rembulan yakin dia bisa menyelesaikan novelnya bahkan bisa saja dia menulis novel baru setelahnya.

Aku ingin berlama-lama tinggal disini, andaikan Sarah memperbolehkan.

Rembulan memenuhi paru-parunya dengan udara segar khas pedesaan. Masih terdengar suara gemercik air dan kicauan burung, hatinya mendadak hangat.

"Halo Sarah, aku udah sampai di villamu. Aku suka, bisa betah aku di sini."

"Ya udah, berlama-lama aja disitu. Oh ya, disitu nanti ada Mbok Dar yang menemani kamu. Kalau tidak ada tamu biasanya Mbok Dar tinggal sama anaknya. Nanti Mbok Dar juga yang masak, kecuali kamu pengen masak sendiri. Pokoknya tinggal bilang ya? Disitu juga ada motor kalau kamu mendadak pengen jalan sendiri. Pasar juga nggak jauh kok. Keluar dari villa sekitar dua kilometer kamu akan ketemu banyak rumah makan dan beberapa tempat nongkrong. Ya, jangan kamu bandingkan dengan Jakarta," kata Sarah panjang lebar.

"Makasih banyak ya Sar, kalau kamu di dekatku sudah aku peluk sampai sesak nafas. Heh, by the way kenapa kamu kirim fotoku yang itu ke Pak Sugeng!"

Terdengar suara Sarah tertawa keras, Rembulan bisa membayangkan betapa bahagianya Sarah sudah berhasil mengerjai dirinya. Dan dia menjadi gemas.

"Tapi Pak Sugeng tetap mengenali kamu kan?"

"Kenal sih, tapi kan nggak gitu juga Sar. Memangnya kamu kekurangan fotoku di galeri ponselmu? Nanti aku kirim deh fotoku yang cakep-cakep."

"Nggak perlu, yang penting kamu sudah sampai dengan selamat. Udah, sana nulis atau istirahat dulu. Aku mau jalan dulu sama mama."

Rembulan menutup ponselnya, berbaring memandangi langit-langit kamarnya. Matanya dipejamkan. Berharap bermimpi indah.

A cup of coffeeحيث تعيش القصص. اكتشف الآن