Berbagi cerita

381 38 0
                                    

"Pagi Bro! Udah enakan?" David menyapa Raditya yang sedang menyantap sarapan pagi.

"Seperti yang lo lihat." Raditya melihat David sekilas lalu kembali berkonsentrasi dengan telur dan roti yang berada di piring.

David bersyukur Raditya cepat pulih dari mabuknya, keadaannya terlihat baik-baik saja. Hari ini jadwal mereka sangat padat, dari mulai acara pemilihan model sampai beberapa wawancara. Dibutuhkan fisik yang bugar untuk menjalani hari ini.

Begitu sampai di tempat acara, penonton sudah berjubel memenuhi gedung. Raditya harus masuk dengan pengawalan dan berdesakan dengan beberapa penonton. Dia harus tetap terlihat bahagia dan menerima beberapa penonton yang menepuk bokongnya, mencubit anggota tubuhnya atau ada yang tanpa sengaja mencakarnya. Senyumnya tetap mengembang. Resiko menjadi artis harus dia terima. Sebentar tangannya melambai menyapa penggemar. David selalu sigap disampingnya.

***

Rembulan menyibukkan diri dengan menulis novelnya yang terbaru. Idenya sudah ada di kepala. Dia sudah membuat outline, tinggal mengisinya saja. Tapi terkadang dia merombak outline yang dibuatnya saat ide baru bermunculan di kepala. Kalau sudah begitu, dia bisa seharian berada di depan laptop dan hanya berhenti saat mandi dan buang hajat. Selebihnya makan dan minum dia lakukan di depan laptop.

Sarah pernah melihat Rembulan seperti ini. Waktu itu Sarah datang mendadak tanpa janjian terlebih dahulu. Dia sedang patah hati dan memilih menginap di rumah Rembulan. Mereka bergadang sampai jam tiga dini hari dan Rembulan sabar mendengarkan Sarah bercerita hingga lelah dan akhirnya tertidur.

Sarah terbangun saat sinar matahari sudah masuk melalui kaca jendela kamar Rembulan. Sarah keluar dari kamar dan mendapati Rembulan sedang di depan laptop. Sarah mulai protes ketika Rembulan hanya sesekali melirik ke arahnya ketika bercerita, lalu makan dan minum dilakukan di depan laptop.

"Dih, nggak asyik banget sih ngelihat kamu kalau begini!"

"Nanggung Sar, nanti idenya hilang." Rembulan menjawab dengan ekspresi kalem padahal Sarah sudah cemberut dan membanting majalah yang berada di tangannya.

"Aku pulang aja kalau begini!" Sarah mulai mengeluarkan jurus mengancam.

"Hm..."

"Apaan sih cuma 'hm' !"

"Iya, kalau mau pulang ya pulang aja." Rembulan bicara dan matanya tetap tertuju ke layar laptop.

"Lan, aku marah!"

"Bukannya udah biasa kamu marah-marah?" Akhirnya Rembulan menghentikan ketikannya, melihat ke arah Sarah.

"Kamu keterlaluan banget! Nggak sehat banget sih hidup kamu!"

"Hidup yang mana yang nggak sehat? Tubuhku baik-baik saja, jiwaku juga baik-baik saja."

"Kehidupan sosialmu yang nggak sehat. Kamu jarang bergaul, hidupmu cuma ada disini." Sarah menunjuk sekeliling rumah Rembulan.

"Sarah, ini pekerjaanku dan beginilah aku bekerja. Aku juga punya kehidupan sosial kok. Aku bergaul dengan sesama penulis walaupun hanya di dunia maya. Tapi di dunia nyata aku juga punya teman-teman yang berhubungan dengan pekerjaanku. Aku juga sesekali bergaul dengan teman-teman kuliah dan sekolah, kami sesekali bertemu. Namun, kalau anggapanmu yang namanya kehidupan sosial aku harus berada diluar rumah setiap hari, berbicara dengan orang-orang, nongkrong di kafe atau mall setiap minggu, aku nggak bisa. Itu bukan kehidupan yang aku mau."

Sarah mendengus, dia masih belum mengerti dengan Rembulan. Butuh waktu lama bagi Sarah untuk menerima perbedaan mereka dan dia merasa nyaman dengan itu.

***

"Halo cewek pingitan! Udah masak apa aja menyambut kedatanganku?" Sarah menyapa dengan ribut begitu melihat Rembulan yang masih duduk di depan laptop.

"Tuh!" Rembulan menggerakkan dagunya seperti menunjuk ke arah meja makan, dia melirik sekilas ke arah Sarah.

"Udah dong nulisnya, aku nggak mau kalau kesini cuma dikacangin!"

"Dikit lagi, tanggung!"

Sarah mendekat, meletakkan satu lengannya di meja dan mulai membaca novel yang ditulis Rembulan. "Novel baru?"

"Hm..."

"Yang waktu kamu kerjakan di villaku?"

"Sudah aku masukkan ke penerbit."

"Tumben kamu produktif? Biasanya dari satu novel ke novel yang baru kamu butuh istirahat sampai berbulan-bulan."

"Pas ada aja idenya, sayang untuk dilewatkan." Rembulan menoleh ke arah Sarah yang berdiri tepat dibelakangnya.

"Pembunuhan? Tumben? Biasanya kamu menulis roman."

"Ide yang ada di kepalaku begitu. Sekali-kali aku berganti genre sekalian mengasah kemampuanku. Beberapa hari yang lalu aku nonton film tentang pembunuhan, idenya dari situ." Rembulan menutup laptopnya, dia tidak mau Sarah protes, merajuk dan akhirnya pulang. Dia ingin ngobrol dengan Sarah.

Sarah mulai mencomot kue yang ada di atas meja makan, "Mmm, enak...beli dimana?"

"Kok tau kalau aku beli?" Rembulan meringis.

"Kalau kamu sudah duduk di depan laptop saat aku datang dan cuma melirikku, aku yakin semua kue dan masakan ini pasti kamu pesan. Kamu nggak akan ada waktu dan pasti takut ide cerita yang ada di kepala hilang. Jangan-jangan dari pagi kamu belum mandi." Sarah menggerak-gerakkan jari telunjuknya, bola matanya membesar.

"Dih, kok nuduh sih! Tadi pagi aku sudah mandi, sore ini belum. Tunggu ya!" Rembulan bergegas mengambil handuk. Sebelum masuk ke kamar mandi dia berteriak kepada Sarah, "Kue-kue yang di meja makan tolong bawa ke balkon, nanti setelah mandi aku buatkan kopi untuk kita minum!"

***

Raditya bersandar malas di jok mobil, dia kelelahan dari satu acara ke acara yang lain. Malam ini dia masih berada di jalan. Dia melihat jam tangannya, sudah pukul sepuluh malam. Raditya sudah tidak sabar sampai di hotel. Dia ingin segera berbaring di tempat tidur.

"Besok kamu mulai syuting untuk iklan, pasanganmu model lokal. Aku sudah melihat fotonya, cantik." David yang duduk disampingnya bicara sambil membuka ponsel melihat jadwal acara Raditya.

"Aku nggak mempermasalahkan dia model lokal atau apalah itu." Raditya bicara, dia memejamkan matanya."

"Tadi waktu pemilihan model, ada yang menarik nggak?"

"Semuanya menarik, cantik. Apalagi?"

"Maksudku, ada yang membuat kamu jadi tertarik?"

"Oh..." Raditya baru mengerti yang dimaksud David.

"Nggak ada!" jawabnya cepat.

"Aku kira ada yang bisa mengalihkan pikiranmu dari perempuan itu."

"Aku tidak memikirkan perempuan itu?"

David tergelak, "Sebentar-sebentar kau melihat ponselmu kalau sedang tidak ada acara. Apa namanya kalau bukan memikirkan perempuan itu? Dia tidak menghubungimu?"

"Tidak!" Raditya menjawab lesu. Ternyata tak semudah itu menghapus Rembulan dari pikirannya.

Tadi sore disela-sela waktu istirahatnya, dia sempat melihat status yang diunggah Rembulan. Foto dua cangkir kopi dan beberapa kue. Raditya tahu foto itu diambil di atas balkon. Rembulan menulis caption "Menyambut kehadiran seseorang yang manis dengan sesuatu yang manis."

Lalu status berikutnya foto langit di kala senja, dia menulis caption "Aku berbagi cerita denganmu dibawah kolong langit senja."

Raditya hanya bisa meremas ponselnya dengan kuat dan mengeraskan rahangnya. Rembulan bisa membuatnya gila!

A cup of coffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang