Minggu berikutnya, Al dan para sahabatnya, juga para istri mereka berkumpul di rumah Dika. Nadia pun ikut bergabung dengan mereka setelah sebelumnya dia bertemu dengan para sahabat lamanya beberapa hari yang lalu. Mereka bercengkerama hangat, tanpa mengingat hal buruk di masa lalu. Mereka hanya berusaha menjalin persahabatan kembali dengan Nadia.
"Masa sih kamu belum punya kekasih, Nad?" tanya Thalita.
Nadia tersenyum. "Dulu sempat ada, waktu aku di Kalimantan. Kami bersama hampir satu tahun. Tapi dia diminta pulang ke Surabaya karena Ayahnya sakit keras. Dia diminta untuk segera menikah selagi Ayahnya masih ada. Dia sempat mengutarakan keinginannya untuk menikahiku..... tapi..... aku belum yakin dengan hubungan kami..... Jadi aku menolaknya. Setelah dia di Surabaya, dia memberiku kabar kalau dia akan menikah dengan teman masa kecilnya."
"Lalu kamu..... merasa kehilangan dia gak setelahnya?" tanya Fani.
Nadia kembali tersenyum, lalu menggeleng.
"Sepertinya kamu udah terpaut dengan seseorang dari masa lalu ya..... sampai kamu gak bisa serius menjalin hubungan baru?" tebak Windy.
Nadia tersenyum kikuk. Sedangkan Thalita dan Fani saling menatap satu sama lain. Viola pun jadi merasa sedikit canggung.
Nadia tertawa kemudian. "Gak gitu konsepnya, Mbak Windy. Aku memang belum ingin memikirkan tentang pernikahan. Aku hanya ingin fokus dulu dengan karirku. Aku ingin membahagiakan Mama..... menjadi anak yang membanggakan dulu buat Mama."
Senyum Nadia perlahan pudar, berganti dengan raut wajah sendu. Thalita lalu mengelus lengannya.
"Kami yakin kamu udah melakukan yang terbaik untuk Mamamu, Nad. Lalu..... gimana dengan Papamu? Kamu masih berkomunikasi dengan beliau kan?" tanya Thalita.
Nadia menggeleng. "Papa udah bahagia dengan keluarga barunya, Ta. Aku gak mau jadi pengganggu. Kamu tau, istrinya bahkan hanya tiga tahun lebih tua dariku. Demi bersama perempuan muda itu, Papa rela meninggalkan aku dan Mama."
Nadia mengusap air matanya yang jatuh ke pipi. Yang lainnya pun segera menyemangati Nadia.
"Semua itu udah berlalu..... dan kamu berhasil melewati ujian hidupmu. Kamu harus tetap selalu semangat ya," ucap Fani.
Nadia menatap Fani, lalu tiba-tiba berhambur memeluk Fani. "Aku sungguh malu padamu, Fan. Maafkan atas semua kebodohanku di masa lalu yang udah merusak impianmu. Aku minta maaf..... aku sungguh menyesal."
Fani membalas pelukan Nadia. "Yang lalu biarlah berlalu, Nad. Yang terpenting, kamu udah menyadari kesalahanmu dan menyesalinya. Mungkin dulu aku memang merasa kesulitan harus mempunyai anak di usia belia. Tapi sekarang aku bersyukur, Nad..... Aku udah merasa bahagia dan merasa sempurna dengan keluarga kecilku. Jadi..... aku harap, kamu pun akan segera menemukan kebahagiaanmu."
"Iya, Fan. Melihat kalian masing-masing udah menikah dan punya keluarga baru, mungkin memang udah saatnya aku memikirkan tentang masa depanku," ucap Nadia setelah lepas dari pelukan Fani.
"Semangat menemukan jodoh kamu ya, Nad," celetuk Thalita.
Kemudian mereka semua tertawa. Windy beralih menatap Viola setelah tawa mereka reda.
"Gimana, Vi? Udah ada tanda-tanda?" tanya Windy.
Viola mengerti maksud pertanyaan Dokter cantik itu. "Belum, Mbak. Mbak sendiri gimana?"
"Aku juga belum sih, Vi. Yang penting berusaha dulu kalau kami, Vi. Nanti kalau misalnya sampai satu tahun belum ada tanda-tanda, ya..... kami baru akan melakukan pemeriksaan," tutur Windy.
"Mbak Windy kan masih pengantin baru, wajar kalau belum ada tanda-tandanya," sahut Thalita.
"Eh, kamu dulu gak langsung isi ya, Ta? Memang di sengaja atau gimana?" tanya Windy.
YOU ARE READING
Jodoh Kedua (END)
General Fiction{18+}..... ***》SEKUEL dari cerita KITA Bulir keringat dingin tampak membasahi wajah itu. Raut kegelisahan yang terpancar dari wajah yang masih terlelap itu, menunjukkan bahwa dia mengalami mimpi buruk. Dengan sedikit napas terengah, dia tersentak ba...