PART 4

166 17 15
                                    

Rumah panggung, dengan dinding dari bilik bambu menjadi tempat Aluka singgah sekarang. Mendudukkan bokong di atas alas dari anyaman serat pandan, Aluka dipertontonkan potret keluarga yang bisa dibilang sempurna.

Ada Telaga, Bapak, dan Ibunya.

"Jadi, ini toh temennya Telaga. Meuni geulis pisan, budak kota mah beda ya!" Ibu bersuara dengan logat khas sundanya. Dia tak henti-hentinya mengembangkan senyum pada Aluka.

"Kamu udah makan belum, Neng Geulis?" Sekarang, suara Bapak yang berhasil menyapa sepasang telinga Aluka.

"Belum Pak, Aluka belum makan." Bukan Aluka yang menjawab, melainkan Telaga.

"Yaudah atuh kalau gitu, makan disini bareng-bareng sama kita ya?" ajak Ibu, mendekat pada Aluka, dan mendekap sebelah pipinya.

Sekujur tubuh Aluka menghangat saat jemari Ibu menyentuh, serta mengusap lembut pipinya. Tanpa Aluka sadar, sepasang kelopak matanya sudah berkaca-kaca, dan itu sukses menimbulkan tanya.

"Eh Neng Geulis kenapa matanya berkaca-kaca gitu, atuh?" Ibu dengan sigap, menyeka lembut bulir bening yang siap jatuh dari kelopak Aluka.

"Neng Aluka kenapa?" tanya Bapak, ikut mendekat.

Aluka tak kuasa menahan tangis, disaksikan pasang mata keluarga sempurna itu, Aluka menumpahkan semuanya.

"Aluka gak punya ibu, hiks ...."

Ibu langsung mendekap Aluka, dan menenangkannya.

"Aluka pengen liat muka ibunya Aluka,"

"Aluka pengen tau namanya, hiks,"

"Aluka pengen dipeluk ibu, dan tahu semuanya ...."

"Eh jangan nangis atuh Neng Geulis, sekarang kan ada ibu. Anggap ibu, kayak ibu kamu ya?"

Aluka memeluk tubuh Ibu, erat-erat. Kepalanya tak lupa mengangguk, pertanda ia mau dan setuju menganggap ibu Telaga, sebagai ibunya juga.

"Jangan nangis lagi, Ka." Telaga mengusap surai panjang Aluka, penuh sayang. "Aku kan udah bilang, kamu bisa anggap ibu dan bapak aku, sebagai ibu dan bapak kamu juga."

"Yaudah atuh, mending sekarang kita makan yuk? Bapak udah laper, ini cacing-cacing diperut udah demo, hehe."

Suasana sedih mendadak cair dengan tawa kecil, saat Bapak mengatakan kalimat itu sambil menyengir menunjukkan giginya yang ompong satu di bagian atas.

Beberapa menit setelah itu, sesi makan siang pun digelar dengan sederhana. Duduk bersila, melingkar. Dengan hidangan makanan yang tersaji di depan.

"Maaf ya Neng Geulis, Ibu cuma masak sayur daun singkong, sama ikan mas goreng. Maklum, tadi habis dari kebun nemu daun singkong muda-muda, makanya diambil buat dimasak. Terus, kebetulan si Bapak habis mancing di sungai dapat ikan mas," tutur Ibu sambil mengambilkan nasi untuk Bapak, Telaga, dan Aluka.

"Enggak apa-apa Bu, Aluka makannya sama apa aja," kata Aluka.

"Sayur singkong buatan Ibu aku enak lho, Ka. Kamu harus coba, pasti langsung doyan." Telaga mengacungkan jempolnya, sambil melirik sang Ibu, yang tengah mesem.

Telaga ini, memang anak yang suka bikin Ibunya merasa senang lewat pujian-pujian sederhananya.

"Sini, Bapak sisihkan bagian daging ikannya biar nggak ada tulangnya, Neng." Bapak mendekat pada Aluka, lalu menarik piring di hadapan Aluka, dan mulai menyisihkan tulang-tulang kecil di ikan mas goreng yang ada di piring.

"Makasih ya Pak," ucap Aluka sambil tersenyum. Tak lupa, matanya begitu urung berkedip dari wajah tenang Bapak.

"Makan ikan mas, harus pinter-pinter buang tulangnya biar nggak nyangkut di tenggorokan." Bapak balas tersenyum pada Aluka. "Neng Aluka, suka ikan mas?"

TELAGA LUKAWhere stories live. Discover now