2. Ahwal Aska

1.5K 131 32
                                    

“Ayah bilang Azka itu terlalu bersih, sampai-sampai, darahnya-pun harus dicuci.”

•••

Dua tahun setelahnya—2011.

     Aska's POV

     Ini adalah pekan ke dua setelah kaki–kaki kami tidak lagi menginjak taman. Jujur, aku rindu taman dan semua isinya. Termasuk Azka yang sudah lama tidak lagi bangkit menyentuh permukaan bumi. Dia itu, seperti lupa untuk bangun. Kerjaannya selalu tertidur di atas ranjang empuk rumah sakit. Aku sampai lelah untuk menunggu, meski aku berusaha kuat dengan terus menggenggam tangan hangatnya.
    
     Hai, namaku Aska Joann Banyusaka. Umurku sepuluh tahun dan yang ada di depanku sekarang, Azka Yoann Banyusaka. Anak nakal sekaligus manja yang suka ngerengek dan ngaduin hal sekecil apapun. Dia satu–satunya saudara kandungku, lebih tepatnya kami kembar.
    
     Dia, sakit. Sudah lama, tepat sekitar satu tahun lalu. Tetapi dalam dua belas hari belakangan, Azka benar–benar belum bangun. Sampai sekarang.
    
     Aku mengeratkan tautan tangan kami saat aku rasa tak sanggup untuk membayangkan lebih lanjut perihal Azka. Badan Azka lebih kecil dariku dan itu membuatku selalu ingin menangis ketika melihat alat–alat yang setiap harinya ditambah atau diganti untuk dipasangkan pada dirinya. Tapi aku percaya, Azka pasti kuat. Gak lama, Azka bakal sembuh lagi, aku yakin!
    
     Bicara tentang Azka, dia itu suka makanan gurih, taman dan beberapa hal lainnya terkhusus warna biru muda. Azka juga hobi nonton Hamtaro. Meski, Azka tidak suka kucing seperti aku, tapi katanya kucing itu ibarat Hamtaro yang dikasih makan banyak. Jadi gede terus gendut!

     Ah iya, kita juga sering menghabiskan waktu bersama. Saking sering dan nagihnya, kadang sampai lupa berapa banyak topik yang kita angkat dalam satu waktu. Hahaha ... Lagian juga, Azka tuh bawel! Kebanyakan kesempatan, dia yang buat aku pusing karena cepat banget alihin pembicaraan.
 
    Walau begitu, tentu ada hal yang paling aku suka tentang Azka ....
 
     “Aska, kamu imut banget! Aku suka!”

     “Kalau udah gede nanti, Aska jangan punya cewek dulu, ya? Nanti aku gak disayang lagi. Kata Nana juga, Om-nya punya pacar, terus Om-nya tambah tua, karena katanya pacar itu nambahin beban pikiran. Emang Aska mau?”

     “Aku gak mau kalau manisnya Aska ilang!”

     Azka itu random tapi istimewa. Azka itu galaksinya aku. Azka itu segalanya, apapun yang terjadi.

     “Gak ada jalan lain selain cuci darah teratur, Dok?” Itu suara Ayah. Aku kenal, meski sedikit samar.

     Aku menoleh ke arah jendela dan menangkap Ayah di sana, sedang berbicara dengan satu dokter yang hendak masuk ke ruangan.

    “Lupus-nya sudah komplikasi. Sekarang anak Bapak punya gagal ginjal. Kami tidak yakin akan berpengaruh banyak bagi tubuhnya, jika hanya dengan pengobatan sebelumnya tanpa cuci darah.”
    
     Aku menunduk, menyadari jika perbincangan itu tentang kondisi Azka.

     “Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?”

     “Berhenti bilang kalau Azka mau pergi. Aku maunya Azka sembuh! Biar kita bisa manjat pohon lagi ....”

     Aku menggeleng keras ketika mengingat potongan obrolan kami dua Minggu lalu sebelum Azka tertidur lama.

     Tak lama, Dokter masuk bersama Ayah yang tampak menahan tangis di belakangnya. Aku pun beranjak dari posisi duduk untuk berlari memeluk Ayah. Memendamkan wajah senyaman mungkin di perutnya.
    
     Aku terlanjur lupa dengan cara menangis. Hampa, hampa, kosong dan tak terasa.
    
     “Aska, ikut Ayah keluar dulu. Pak Dokter mau cek sesuatu ke Azka.” Ayah melepas pelukan lalu menarikku untuk keluar ruangan.
    
     Aku menatap Ayah dengan semua harapan terpendam. Tentang Azka, penyakitnya dan bagaimana cara agar kita bisa berlarian kembali di taman.

Aska: Bertaut JiwaWhere stories live. Discover now