40. Isn't Hard For Me?

569 60 21
                                    

.

     Mata bulat Orion mengintip melalui kaca buram ruang ICU. Di sana terbaring sosok yang Kakaknya maksud. Kembaran dari Jenova—teman yang ia kenali beberapa kali.

     Matanya menajam. Ia baru sadar semirip itu sosok ini dengan Jenova. “Eric, jangan–jangan dia ya yang gak masuk pas MPLS?”

     “Capek gak ya dia? Alatnya banyak banget. Ruangnya juga steril parah, pasti bau banget obat. Mana sen—”

     “AllahuAkbar ...,” gumam Orion, ia terlonjak mundur saat kepala milik Eric di dalam sana menoleh dan tiba–tiba menghadap ke jendela. Pandangan mereka bertemu.

     Di dalam masker oksigennya, Eric mengucapkan sesuatu yang sangat diharapkan dapat dipahami Orion. Sementara, gadis yang dimaksud untuk memahami justru memiringkan kepala dan menaikkan alis.

     Eric segera membuang wajah ke sisi berlawanan. Kali ini Orion merasa tertarik untuk mengenal sosok kuat itu. Tangannya bergetar kuat dan dengan cepat meminta izin masuk ke pada Kakaknya.

     Leon yang duduk dan memang sejak awal sibuk dengan tab di tangannya pun mengadahkan wajah. “Kok diem?”

     “Mau masuk boleh?”

     Pertanyaan milik Orion disambut tawa. “Kamu siapa? Keluarganya?”

     Orion menggeleng. Leon pun berdiri lalu menepuk pelan pucuk kepala berbalut tudung milik sang adik. “Cari keluarganya, minta izin juga ke mereka.”

     “Siapa yang masih di sini?”

     “Ibunya. Di ruang rawat Jeno.”

•••


     Keadaan Jenova kini sedikit membaik meski dirinya tidak dapat lepas dari pengawasan dan obat penenang dosis sedang.

     Keinginan untuk mengakhiri hidup masih menjadi bagian dari alam bawah sadar Jenova untuk sekarang. Menurut Psikiater yang menanganinya, Jenova bukan hanya harus mengkonsumsi obat–obatan untuk menangani masalah kejiwaan. Ia perlu terapi juga.

     Sudah setengah jam Jenova sendiri di kamar. Ibunya izin untuk ke kantin sebelumnya. Harusnya ia tidak sendiri seperti ini, Jenova bingung harus berbuat apa.

     ‘Aska kenapa? Kok di Rumah Sakit lagi?’

     Jenova menoleh, menatap ke arah belakang nakas. Dia menemukan sosok kecil yang terduduk dan melipat kaki di sana. Ia merasa kenal dengan sosok itu. Tapi siapa?

     “Aska lupa, tapi Aska inget tadinya Tuhan mau kasih Aska hadiah taman. Terus ya, kamu siapa, kok nanya–nanya banyak ke aku?”

     ‘Aska lupa aku? Aku Azka.’ Sosok itu berkedip beberapa kali seraya memainkan bagian lutut celananya.

    “Azka?! Jadi ini kamu? Kamu di sini? Aku mau peluk kamu!”

    Sosok kecil itu tertawa kecil, lalu berdiri dan berjalan kecil ke depan jendela. Ia menghela napas seraya bersandar di kaca ruangan. ‘Mau main bareng aku gak?’

     “Mau main bareng Azka!”

     Jenova dengan riang turun dan mencabut infusnya sendiri. Kemudian dengan senyum merekah, ia melangkah pasti mendekati sosok kecil itu. Hampir saja Jenova memegang tangannya, namun tangan itu justru pergi menembus kaca. Setengah badan itu keluar dan sosok tersebut berkata, ‘Keluarlah bersamaku, buka kaca ini. Di luar lebih seru.’

     Antusias yang tertata membuat Jenova dengan yakin membuka kunci jendela kaca setinggi lututnya tersebut. Ia menghirup napas, baru sadar udara luar sesegar ini.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang