25. Stay for All

415 51 13
                                    

—07.00

     Senja saat ini tengah berada di rumah sang karib, Eric. Ini memang jadwal Senja untuk mengajak main temannya yang satu itu. Terdengar memang sedikit kekanakkan, tapi Eric itu disabilitas, jadi selain main, seperti wudhu atau bahkan berpindah tempat, Eric perlu bantuan. Pun, menurut Senja sendiri itu fungsi keberadaan dirinya ada di sini.

     Senja berhenti di depan pintu kamar Eric. Pintu itu terbuka sedikit, tapi yang ia lihat dari bagian terbuka itu sekadar kamar redup dengan satu bubur yang berceceran di lantai.

     Ia mengernyit bingung. Senja tuh dasarnya positif vibes banget, tapi sudah beda pengaturan jika itu tentang Eric. Hal sekecil apapun pada Eric, Senja selalu ingin untuk bisa memperhatikannya.

     “Halo, Assalamu'alaikum Eric yang tampan! Izin masuk, ya?”

    “Ric?”

     “Lagi nonton Naruto, ya? Bukan? terus apa? One Piece atau Kobayashi? Eh, tapi kok gak ada suaranya?”

     “Duh, Ric ... gue ngintip, ya?” Senja mengayunkan kakinya untuk lebih dekat ke depan pintu.

     “Oh, di dalem selimut ya? Pantes gak ada suaranya. Eh, emang selimut lu kedap suara?”

     Tepat setelahnya, Senja dibuat kalut. Ia berubah cepat dan dalam sekejap berlari, membuka selimut yang membungkus Eric.

     “E-eric ....” Dua matanya membola. Di atas kasur itu sudah tergeletak Eric bersama darah kering yang juga menyebar ke sprei dan bantalnya.

     Senja mendekap Eric sesaat. Ketika merasa jika temannya masih hangat, ia segera membopong Eric keluar.

     Senja menuju ke kamar mandi, menyalakan keran hangat untuk membasuh wajah Eric yang lengket dengan darah.

     “Ric?” Senja menghentikan aktivitas tangannya di bagian bawah wajah Eric ketika menyadari kerutan tercetak di dahi sahabatnya.

     “Hei, kenapa?” Tangan miliknya menepuk pipi Eric pelan–pelan.

     Senja kembali menggendong Eric menuju ke garasi. Menaruh Eric di kursi panjang terdekat sementara dirinya mencari kunci mobil di kotak penyimpanan.

     “Sandinya, jir ... gue kagak tahu! Duh!”

     Senja memainkan kakinya panik. Ia menoleh ke tempat Eric untuk beberapa detik. Eric di sana sedang tidak sadarkan diri, jadi tidak mungkin ia bertanya.

     “Bentar, Eric ...? Ohoho!” Senja langsung berinisiatif memasukkan digit nomer sesuai tanggal lahir sang teman.

     Berhasil! Kotak penyimpanan itu terbuka dan menampakkan satu kunci mobil, yang langsung saja Senja ambil dan pergi menuju mobil abu–abu di dekatnya.

     Senja membuka pintu mobil, menghidupkan mesin lalu membuka pintu belakang. Selanjutnya, ia keluar kembali untuk mengangkat masuk tubuh Eric di kursi belakang.

     Ketika ingin membuka garasi, Senja merogoh saku belakangnya. “Anjay, gue lupa bawa dompet! Gimana dong? SIM gue? KTP gue?”

     “Kalau pulang buat ngambil dulu ....” Senja menoleh, menatap pintu belakang yang masih terbukanya. Ia tersenyum getir. “Bakal nyita waktu banyak. Mungkin kondisinya udah gak terlalu baik sekarang,” monolognya.

     “Masa bodo! Gue punya Allah, gak takut gue! Alah tilang–tilang aja!” Senja berubah menjadi sangat bersemangat. Ia membuka garasi, lalu gerbang, kemudian kembali untuk menutup pintu belakang mobil. Setelahnya, ia naik ke mobil tempat pengemudi.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang