duabelas

48 2 0
                                    

12.

"Jika saja kamu sudi memperlambat langkah dan berhenti sejenak untuk menunggu langkahku sejajarkan langkahmu, aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini,"---Aisha Valerie.
.
.
.
.

"Masa lo nggak paham sama materi matematika kelas sepuluh?"

Aisha menggeleng pelan. "Sulit," jawab cewek itu.

Mereka berada di meja yang paling ujung. Duduk berseberangan, jika saja ada orang yang melihat dari luar, mungkin mengira mereka sedang berpacaran.

Reyes menaikkan sebelah alisnya yang setebal ulat bulu. Wajah itu terlihat angkuh di depan Aisha. Reyes membuka buku paket matematika milik cewek itu.

"Pertidaksamaan linear? Sistem persamaan linear? Persamaan garis lurus? Persamaan kuadrat? Fungsi kuadrat? Mana yang lo nggak paham?" Baru kali ini Reyes segan menawarkan bantuan dengan bertanya banyak kepada seorang cewek.

Aisha menggeleng, lagi-lagi layaknya boneka pajangan dashboard mobil.
"Gue nggak paham semua."

"Yang serius! Niat belajar gak!" ketus Reyes dingin.

Sontak nyali Aisha menciut mendengar penuturan cowok itu. Ia tidak berani memandang ke depan. Matanya tunduk ke tulisan dan angka di buku paketnya. Hening, hanya detik jarum jam yang terdengar.

Reyes membuang  napas pelan, lalu berkata, "oke, kita mulai dari awal."

Cowok itu menggeser kursinya agar berada di samping Aisha. Alih-alih deg-degan layaknya drama romantis, Aisha malah takut. Iya, takut dimarahi kalau dirinya bebal dan tidak paham-paham.

'Mau jadi kayak apa nanti? Muka gantengnya berubah jadi serem. Ya Allah' batin Aisha.

"K-kok lo duduk di..." belum sempat Aisha menyelesaikan pertanyaan. Sudah disela duluan oleh Reyes.

"Kenapa? Lo takut sama gue?" tanya Reyes, matanya menyipit. "Atau jangan bilang lo nervous?"

Aisha tidak berani menjawab. Ia pura-pura memperhatikan buku.

Tidak ada suara lain selain suara Reyes yang menjelaskan tentang materi. Aisha tak bisa berbuat banyak, apalagi sekedar menoleh untuk melihat wajah cowok yang duduk di sampingnya.

"...Mudeng nggak?"

"Iya."

"Coba lo kerjain yang ini!" ucap Reyes menunjuk  soal di buku.

Aisha berharap semoga cowok di sampingnya kini tidak akan membentaknya jika ia salah.
-------------

Sekitar dua jam berada di perpustakaan berkutat dengan matematika. Akhirnya mereka berkemas dan  memutuskan untuk pulang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Reyes berjalan keluar dengan Aisha di belakangnya.  Saat Aisha melongok ke arah lapangan, semua sudah sepi. Hanya tinggal kedua satpam penjaga sekolah. Yang biasa menutup dan mengunci gerbang sekolahan saat sudah jam lima sore.

Dalam posisi seperti ini, ia bisa menatap punggung tegap Reyes yang terhalang tas ransel dengan seksama.

'Dari belakang pun masih terlihat ganteng' batin Aisha.

 Langkah Reyes lumayan lebar dan cepat. Sesuai dengan ukuran kakinya yang panjang. Sedang Aisha tertatih di belakang, mencoba menyesuaikan jejak langkahnya agar tidak tertinggal jauh. Cewek itu sedikit berlari.

Sampai di parkiran siswa. Reyes hendak memasang helm teropongnya. Ia menoleh ke arah di mana Aisha berada. Ia melihat Aisha sudah duduk di atas sepedanya. Ini sudah lumayan sore.

"Sepeda lo tinggal sini aja, lo pulang bareng gue!" kata itu terdengar seperti perintah, bukan tawaran yang bisa dinegosiasi.

"T-tapii..."

Hai, Mas AtletWhere stories live. Discover now