Chapter 8

611 73 27
                                        

"Iy..."

Krist mendadak menunduk sedikit memberi salam sesaat menyadari sang empunya kampus muncul. Sang pemilik kampus Phana Thanaboon Ruangroj, yang notabene ayah Prachaya menarik senyum. Ekspresinya berubah ketika melihat putranya. Tidak seramah membalas sapaan Krist, ekspresinya terlihat lebih dingin.

Krist merasakan atmosfer yang tidak enak dari ayah dan anak itu. Sialnya dia menjadi saksi dan masih berada di sana. Perlahan kakinya sudah mundur satu langkah dan bersiap pergi diam-diam. Akan tetapi, dia mengurungkan niat setelah mendengar kalimat Prachaya pada ayahnya.

"Ini calon istri saya, Pa."

Krist spontan memekik pelan. "What?! Gila kali!"

Phana melirik Krist sekilas, lalu menatap putranya. "Bawa ke rumah. Papa tunggu."

Menit berikutnya Phana meninggalkan Prachaya dan mendatangi fakultas hukum. Sementara itu, Krist terperanjat hebat.

"Pak! Yang bener aja main asal ngomong begitu!" protes Krist.

"Kenapa? Apa yang salah?"

"Apa yang salah? Kita baru kenal dua minggu, Pak! Astaga." Krist mengepal tangan kuat-kuat, menahan amarah yang kian melahap kesabaran.

"Tolong jangan kayak novel-novel ya, Pak. Saya ngurus proposal skripsi aja masih nggak sanggup, gimana mau nikah? Yang ada Bapak nggak makan sebulan. Saya nggak bisa apa-apa. Bisanya cuma nyusahin, manja, dan saya nggak memiliki standar yang oke untuk menjadi seorang istri," lanjutnya dengan cara bicara yang cepat seperti laju kereta api.

"Apa pun itu, kamu udah dengar kata Papa saya, kan?"

"Pak, tolong diingat. Saya suka sama laki-laki lain. Bapak jangan seenaknya bilang saya calon istri. Saya chat Bapak tuh karena kesalahan aja. Kalo nggak juga saya nggak mau chat robot."

Sadar akan ucapan terakhirnya, Krist menutup mulutnya dengan telapak tangan. Bayang-bayang nilai E langsung muncul ke permukaan. Siap-siap dia mengulang mata kuliah Kriminologi. Dalam hati dia tak berhenti menyematkan doa. Ya, Tuhan... semoga Pak Prachaya nggak ngamuk, dapat nilai E nih. Gila, gila. Mulut gue nggak beradab katain robot. Bisa banget!

"Robot?" ulang Prachaya.

"Apa saya sekaku itu?"

Krist menggeleng. Bibirnya tetap ditutup supaya tidak salah bicara lagi. Takut kelepasan. Pada saat bersamaan, Krist melihat Gulf berjalan ke arahnya. Dia buru-buru menarik tangannya dari mulut dan berteriak, "Pak Gulf!"

Tanpa permisi Krist menghampiri Gulf. Dia mengambil alih beberapa buku tebal yang dibawa Gulf.

"Biar saya bantu, Pak," ucap Krist.

"Boleh." Gulf membiarkan Krist mengambil beberapa buku darinya. Sekilas dia melirik Prachaya.

"Bukannya kamu lagi ngobrol sama..."

"Pak, nanti kita makan bakso di sebelah kampus ya," potong Krist sambil mengedipkan matanya berulang kali seolah memberi kode kepada Gulf supaya tidak melihat Prachaya. Gulf langsung mengerti.

"Oke. Kita makan bakso."

Dengan begini Krist dapat mengobrol dengan Gulf tanpa harus memperdulikan Prachaya. Dia mengikuti langkah Gulf menuju fakultas hukum, meninggalkan Prachaya sendirian di belakang sana. Harapannya hanya satu; dosennya tidak ngambek. Takutnya kalau ngambek, nilainya menjadi taruhan.

"Kamu sama Pak Prachaya udah jadian?" tanya Gulf tiba-tiba, membuyarkan pikiran Krist akan Prachaya.

"Hah?" Krist menggeleng cepat.

Wrong Target [On Going]Where stories live. Discover now