Chapter 10: Paijo Cidro

13 5 4
                                    

Ki Dharman kembali menghampiri Paijo. Namun, wajah Paijo terlihat masam. Ia cemburu, mengapa selalu Nemo yang diutamakan. Matanya menatap Ki Dharman dengan penuh amarah. Ia berusaha meredam amarahnya.

"Paijo, ikut aku." Ucap Ki Dharman sembari menggandeng tangan Paijo.

Paijo mencoba untuk melepaskan genggaman tangan Ki Dharman karena risih. Ia terlanjur kecewa kepada Ki Dharman.

"Jangan dilepas." Ucap Ki Dharman mengeratkan genggaman tangannya.

Disisi lain ia bingung, jika Nemo dibawa ke utara, mengapa ia dibawa ke timur? Ia sangat merasa dibedakan dengan saudara seperguruannya sendiri. Ia mengubur rasa kecewa dan amarahnya di depan Ki Dharman dan Nemo, tapi entah dibelakangnya.

*****

Paijo dibawa ke atas batu besar. Batu tersebut lebih tinggi dari tubuhnya. Tapi anehnya, batu tersebut tak terlihat jika kita melihatnya dari jarak jauh. Batu tersebut seolah tertutup oleh alang-alang yang tingginya setara sengan pohon kelapa jika dilihat oleh orang yang berilmu, batu tersebut bernala Watu Lawang.

"Di belakang batu ini, ada batu yang tersusun seperti tangga. Kamu bisa naik ke atas sana lewat batu itu." Terang Ki Dharman melihat matahari yang menyorot panas.

Ki Dharman melepas cincin batu alam berwarna merah yang ia kenakan di jari manis tangan kirinya. Ia menyerahkannya kepada Paijo.

"Jo, sebelum tapa, ada yang mau aku sampaikan." Ujar Ki Dharman.

Ki Dharman menyampaikan apa yang disampaikan olehnya kepada Nemo. Paijo mengiyakan apa yang dikatakan oleh bapak angkatnya. Paijo pun mulai semedinya.

*****

Ki Dharman berjalan pulang dengan modal percaya kepada putra-putra angkatnya. Sebelum pulang, ia menyempatkan diri untuk mampir ke kiosnya guna mengecek barang-barang yang mau dikirim ke kota.

"Monggo, Ki Dharman, kelapa mudanya." Tawaran seorang pedagang kelapa muda yang ia lalui.

Ki Dharman tersenyum ramah kepada pedagang itu. Menolak secara halus. Di dekatnya terdapat seorang gadis yang gaya berpakaiannya tak jauh berbeda dari Ki Dharman.

Baju lurik, celana komprang, serta jarit yang terlilit di pinggangnya sangat mirip dengan gaya berpakaian Ki Dharman.

Apa? Ki Dharman? Apa itu Ki Dharman Nogowesi?

Batinnya.

Gadis tersebut menghampiri pedagang kelapa muda tersebut.

"Maaf Kisanak, apa yang Kisanak sebut tadi adalah Ki Dharman Nogowesi?" Tanya gadis itu sembari membawa kertas di tangan kananya.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong, apa Nisanak mau beli kelapa muda?" Sahut pedagang itu.

"Saya bukan mau beli kelapa muda," Jawab gadis berpakaian lurik tersebut.

"Tapi, saya harus bayar berapa jika saya mau tau alamat rumah Ki Dharman Nogowesi?" Sambungnya dengan tatapan dingin yang benar-benar mirip tatapan Ki Dharman

"T-tidak perlu bayar, cukup beli satu gelas kelapa muda saja." Sahut pedagang tersebut.

Gadis itu melemparkan sekantung uang kepada pedagang kelapa muda itu.

Solah [END]Where stories live. Discover now