Chapter Bonus: Menghargai Seorang Istri

7 1 0
                                    

"Mas, Mas. Cukup Mas, aku bisa jalan sendir--" Dhanawati tersipu di dekapan Nemo yang menggendongnya dari luar.

"Ssttt... Kamu memang bisa jalan sendiri, tapi aku mau mewakili kakimu untuk berjalan." Nemo berujar dengan lembut dan mesra, kakinya melangkah senyap tanpa suara.

Kini mereka berdua berada di pendopo. Tinggal beberapa langkah lagi mereka berada di kamar pengantin yang sudah disiapkan.

Dhanawati mencuri kesempatan lantaran ia larut dalam gendongan Nemo. Ia membenamkan wajahnya pada dada Nemo yang terlihat tegap dengan beskap hijaunya. Dihisapnya sedalam mungkin aroma tubuh Nemo yang wangi kala itu. Dhanawati nampak menikmatinya.

Sesampainya di depan pintu kamar yang tertutup, dengan inisiatif Dhanawati menjulurkan tangan kirinya guna membukakan pintu memberi jalan untuk suaminya. Nemo nampak tersenyum tanpa menatap kearah Dhanawati.

Nemo sudah mengetahui apa yang Dhanawati lakukan kepadanya. Nemo hanya diam, ia tak berkata apa-apa. Ya, Nemo normal, tapi ia menghargai wanita yang baru beberapa saat menjadi istrinya itu. Ia tak akan langsung melakukan hal "itu".

Sesampainya di depan ranjang, Nemo menidurkan Dhanawati dengan lembut. Jantung Dhanawati berdegup kencang layaknya ada alunan musik yang mengiringi jantungnya menari. Pikiran yang seliweran di benaknya sungguh diluar nalar. Apa Nemo akan melakukannya? Apa sakit? Ah, sudahlah. Tidak perlu dijelaskan secara detail.

Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang dipikirnya. Nemo hanya membelai rambutnya yang terurai dengan lembut, kemudian menyelimutinya dengan lembut.

Nemo yang berada di sebelah kiri ranjang, mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Dhanawati yang terbaring sehingga dada Nemo berada tepat di depan wajah Dhanawati.

"Selamat malam." Bisik lembut nan mesra Nemo seraya membelai kepalanya.

Tak lama setelah itu, Nemo beranjak dari posisinya, kemudian keluar kamar dengan langkah tanpa suara. Dibalik sikapnya tersebut, ada hasrat yang tertahan. Nemo keluar dengan senyuman tipis yang tercetak di bibirnya. Ia memilih tidur di pendopo, membiarkan istrinya tersebut mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk beberapa hari agar terbiasa.

Nemo mulai merebah terlentang menatap langit-langit pendopo sembari tersenyum tipis. Melihat paras istrinya yang begitu tersipu. Ternyata benar, Witing Tresno Jalaran Seko Kulino.

GLODEKK...

Suara pintu pendopo membuat lamunan Nemo buyar. Ki Dharman masuk seraya membersihkan kain jarit dan beskap hijau yang dikenakannya.

"Jaka sialan." Gumam Ki Dharman sembari membersihkan jaritnya yang sedikit kotor, gumamnya hampir tak terdengar oleh Nemo.

Saat Ki Dharman mendongakkan kepalanya, alangkah kagetnya ia ketika melihat Nemo yang malah memilih tidur di pendopo bukannya menemani istri barunya pada malam pertamanya menjadi pengantin.

"Kok tidur disini?" Tanya Ki Dharman agak dingin.

"Apa Romo tega? Jika seorang istri yang belum siap untuk melakukan 'hal itu' tapi suami memaksanya?" Sahut Nemo dengan santainya menatap langit-langit seraya melukis gambar hati menggunakan telunjuknya di udara.

Ki Dharman hanya membalasnya dengan senyuman kecil yang hangat. Ia berpikir bahwa Nemo memang pilihan yang tepat untuk Dhanawati, puteri semata wayangnya.

"Kalau begitu, kali ini aku tidur bersama Jumantoro." Sahut Ki Dharman melenggang menuju kamar isolasi Jumantoro sembari meregangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah piting-pitingan dengan Ki Jaka.

Hujan rintik-rintik malam itu. Ya, memang cocok untuk sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Senyum Dhanawati terpampang diwajahnya. Ia tak mengira jika Nemo yang kaku dan celelekan itu bisa semanis gula jawa.

Awalnya ia tidak percaya jika Nemo adalah orang yang penyayang dan lembut. Ia yakin bahwa Nemo adalah orang yang pendendam dan keras. Memang benar, namun Ki Dharman berhasil merubahnya menjadi orang yang penyayang dan lembut.

Wajah Dhanawati kembali merah merona ketika ia mengingat kejadian dimana saat Nemo menggendongnya dengan lembut. Ingin ia hapus memori itu karena membuatnya salah tingkah sampai-sampai ia tak bisa tidur.

Karena kurang nyaman dengan posisinya, Dhanawati membalikan posisinya. Tak sengaja pandangannya bertabrakan dengan blangkon milik suaminya, Nemo. Tambahlah wajahnya itu merona, diusapnya dengan lembut blangkon tersebut layaknya mengusap suaminya sendiri.

Tak sadar, Dhanawati memejamkan matanya kemudian tertidur lelap dengan memeluk blangkon suaminya tersebut.

Begitu juga Nemo yang berbaring telentang di pendopo. Tersenyum tipis sembari menerawang bunga kantil yang diambilnya dari hiasan rambut Dhanawati secara diam-diam, kemudian memasukkannya ke dalam sagen yang ia kenakan.

Nemo tersenyum menatap bunga itu meski hanya satu. Diciumnya bunga itu layaknya ia mencium tangan istrinya. Diusap dan digenggamnya dengan lembut layaknya bunga itu adalah tangan Dhanawati, istrinya. Kemudian ia terlelap dengan senyum tipis yang terlukis diwajahnya.

--SELESAI--

Solah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang