Prolog

46 1 0
                                    

"Jadi dia anak haram?"

"Hasil perselingkuhan? Astaga, gila sih."

"Dan Riana masih saja baik padanya. Kalau aku jadi Riana udah aku jambak dia."

"Bisa-bisanya dia masih punya muka sekolah di sini."

"Aku nggak nyangka Om Dennis seperti itu."

"Mungkin Ibunya merayu Om Dennis. Secara Om Dennis kan tampan dan kaya. Aku dengar-dengar Ibunya dulu sangat miskin dan kerja serabutan."

"Dia dulu tinggal di desa tepi pantai kan? Sudah pasti miskin."

"Astaga, tidak tahu malu."

"Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya. Lihat saja, dia sekarang menggaet Keenan. Padahal sebelum ada dia, Keenan dan Riana kan dekat sekali."

"Apa Ibunya seorang pelacur? Begitu hasil didikan Ibunya?"

"Makanya dia juga merebut Keenan dari Riana. Keenan punya segalanya!"

"Parah sih. Wajahnya aja yang sok polos, tapi kelakuannya—ckckck."

"Harusnya kita usir saja dia dari sekolah ini. Nggak sudi ada anak kayak dia di sekolah ini."

"—sekalipun juara piano sih."

"Peduli apa soal piano. Yang penting reputasi sekolah dipertaruhkan."

"Tapi aku dengar kemarin dia ke ruang kepala sekolah. Kayaknya dia mau pindah deh."

"Hari ini juga dia nggak berangkat, kan?"

"Syukurlah kalau dia sadar diri."

Keenan mempercepat langkahnya ke kelas Kara. Apa yang ia lewatkan selama beberapa hari ini? Kenapa anak-anak lain tahu asal usul dan identitas Kara yang asli? Dari mana mereka tahu?

Kelas Kara begitu ramai tapi saat Keenan masuk ke dalam, kursi yang Kara tempati kosong. Parahnya di atas meja itu penuh dengan coretan spidol bertuliskan kata-kata kasar. Kemarahan tak bisa Keenan tahan. Sial, ia hanya tidak berangkat sekolah selama 3 hari dan apa yang terjadi?!

"Mana Kara?!" teriak Keenan di samping bangku Kara.

"Kayaknya dia pindah." jawab salah seorang dengan acuh tak acuh.

"SIAPA YANG MENULIS TULISAN INI?!" Keenan menunjuk bangku Kara dengan kemarahan yang tak bisa ia tutupi.

Tak ada yang menyahut sedikit pun.

Kemudian tatapan Keenan terarah pada bangku depan, pada sosok Riana yang kelihatan menulis tak peduli situasi di sekitarnya. Keenan berjalan mendekati Riana. Tangannya mengepal kencang.

"MANA KARA, RI?"

Riana mendongak. Wajahnya dingin. "Pindah."

"Apa yang kamu lakukan pada Kara?"

"Riana tidak salah, Kee." sahut salah seorang siswi.

Keenan mengedarkan tatapan tajam. "Lo adalah orang paling terburuk yang pernah gue tahu."

"Well, gue akan menjadi orang baik dengan memberitahu lo bahwa jam 8 ini adalah keberangkatan Kara ke Paris."

"Apa?" Keenan cengo.

"Iya. Dia menerima tawaran beasiswa piano itu. Dan kamu, Kee, nggak lagi punya kesempatan bertemu dia. Sekarang atau selamanya."

Keenan terdiam. Otaknya mampet, sebelum akhirnya ia menyumpah dan berlari keluar kelas dengan kencang. Kumohon jangan tinggalkan aku. Ia berlari ke depan sekolah, kebetulan Pak Karta—sopir pribadinya—masih di depan mengelap kaca mobil. Seorang guru berusaha memanggil namanya, tapi Keenan tak peduli.

"Pak, ayo ke rumah Kara."

"Eh, Den, bolos? Ada apa? Nanti kalau nyonya tahu Den Keenan bisa—"

"CEPAT!"

Pak Karta langsung mematuhi perintah Keenan sedangkan Keenan duduk dengan gelisah. Entah mengapa firasatnya mengatakan ia sudah terlambat. Dan benar saja ketika Keenan sampai di rumah Kara—yang juga rumah Riana—asisten rumah tangga bilang kalau Kara sudah pergi sejak jam 6 pagi tadi. Penerbangannya jam 7. Riana sudah membohonginya!

Keenan lemas.

Separuh hatinya hilang dan ia tidak tahu cara mencarinya.

*****

TRULY DEEPLYWhere stories live. Discover now