Part 1

11 1 0
                                    

"Ini, Ma

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ini, Ma." kata seorang anak kecil menunjukkan gambarnya ke seorang Ibu di sampingnya.

Buru-buru Kara mengambil earphone dari tas kecil yang ia sampirkan di bahunya. Tak ingin mendengarkan percakapan Ibu dan anak itu. Tapi sialnya earphone-nya ada bagian paling dalam yang berarti bahwa ia harus membongkar beberapa isi tasnya.

"Oh, ini Cinderella?"

"Bukan, Snow White."

"Kamu tidak memberi pita di rambutnya. Mama kira Cinderella."

"Mama tahu kan kalau aku tidak suka Cinderella?"

"Kenapa?"

"Hidupnya terlalu malang. Aku tidak ingin hidup susah, Ma."

"Tapi akhirnya ia bersama sang Pangeran?"

"Snow White juga begitu. Ia tinggal tidur dan Pangeran datang menjemputnya."

"Ya sudah, jadilah apapun yang kamu inginkan. Mama selalu menyayangimu."

Kara bersyukur akhirnya mendapatkan earphone di tangannya. Buru-buru ia memasangnya di hape agar tidak mendengar percakapan-percakapan tidak berarti dari penumpang-penumpang lain. Perjalanan Paris-Jakarta tidaklah sebentar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jujur ia tidak bisa tidur. Pikirannya tidak mengizinkan untuk tidak memikirkan apapun.

Tidak dipungkiri, Kara memang takut.

Kembali ke daerah yang ia benci setelah bertahun-tahun ia tinggalkan tidak akan pernah mudah. Ia kira ia bisa mengatasi rasa takut dan paniknya, tapi ternyata tidak. Ia masih sama pengecutnya. Sialan Paman Sam yang membuatnya harus kembali seperti ini. Jika bukan karena ancaman Paman Sam—yang mengatakan bahwa beliau akan memutus hubungan dengannya—Kara tidak akan pernah mau pulang. Ia bahagia di Paris, bersama pianonya—meski ada sedikit rasa hampa. Tapi itu tidak apa-apa. Ia bahagia dengan kehidupannya yang sederhana.

Sederhana? Kara tersenyum sinis memikirkan kalimatnya sendiri. Sederhana adalah kata yang sangat tidak tepat menggambarkan kehidupannya di Paris. Oke, dia memang menghindari drama keluarga di Indonesia, tetapi kehidupannya di Paris juga tidak luput dari banyak aktivitas. Sejak 5 tahun lalu, dia banyak berkegiatan di kompetisi piano. Pelatih menggemblengnya dengan tidak kira-kira hingga ia tidak lagi bisa memikirkan kesedihannya.

Kesedihan karena ditinggal Bunda.

Kesedihan karena Ayahnya.

Kesedihan karena Riana.

Kesedihan karena teman-teman sekolahnya.

Dan kesedihan karena Keenan—

Kara berjanji pada dirinya sendiri ketika ia kembali nanti—ketika ia menginjakkan kaki lagi di Indonesia—ia tidak akan pernah berurusan dengan semua orang itu. Ia akan menjalani hidup baru menjadi Kara yang baru.

TRULY DEEPLYWhere stories live. Discover now