Part 5 - Bertahan

18 0 0
                                    

"Kee, gue dengar beritanya. Astaga, apa kampus ini sangat sempit sampai berita di fakultas seni masuk di fakultas ekonomi?" Max tak habis pikir. "Tapi, Kee, gue dengar lo menghampiri Kara. Lo mengenal dia? Atau lo hanya berusaha berkenalan dengan dia?"

"Nggak, gue nggak kenal dia." kata Keenan sambil lalu. Kemudian dia menghadap salah seorang panitia acara dalam festival tersebut—Farah. Sedangkan Max menyusul di belakangnya. "Aku sudah meminta Kara Iskan sebagai ikon, dan dia bersedia." kata Keenan tanpa basa-basi. Padahal Kara bilang masih memikirkannya.

Farah kelihatan sangat terkejut. Ia bahkan memandang Max yang juga sama melongonya dengan pernyataan Keenan barusan. Kemudian tanpa menunggu tanggapan dari Farah, Keenan kembali berkata.

"Lo temui dia. Ajak dia ikut rapat besok."

"Hah?" Farah terkejut.

"Briefing." Keenan menjelaskan tanpa Farah bertanya. "Siapkan list apa saja yang harus disiapkan sebagai seorang ikon dan buatkan deret pertanyaan yang mungkin muncul dalam wawancara."

"—oke."

Kemudian Keenan pergi. Max masih melongo, tapi akhirnya ia langsung berlari mengejar Keenan. "Lo semangat banget jadiin dia ikon. Lo ngefans ya sama dia?"

Keenan tak menjawab. Langkahnya lebar-lebar menuju fakultas Seni, hingga Max kebingungan. "Lo nyari siapa? Kara lagi?"

Keenan terus berjalan padahal jarak fakultas ekonomi dengan seni tidaklah dekat.

"Clarissa?"

Ia tidak berhenti berjalan sampai tiba di gedung desain dan melihat dua orang perempuan berjalan beriringan. Clarissa dan Riana sedang berjalan sambil membahas sesuatu. Langkah kaki mereka terhenti saat melihat Keenan. Clarissa mengernyitkan kening. Tidak biasanya Keenan menghampirinya seperti ini.

"Kee—"

"Gue ada urusan sama Riana." tegas Keenan membuat Clarissa dan Max mengernyit.

Riana sendiri terlihat bingung sebelum akhirnya berkata, "Apa?"

"Ayo bicara empat mata."

Setelah itu mereka berdua berjalan ke lorong sepi, meninggalkan tatapan penasaran dari Clarissa maupun Max. Ketika mereka berdua berhenti Keenan segera berkata,

"Kara balik."

"Oh." Riana merasa bersalah tidak memberitahu Keenan. Tapi bagaimana ia bisa memberitahu? Keenan tidak sudi bicara dengannya. "Kalian bertemu?"

"Dan apa yang lo bilang ke Kara soal gue nggak berangkat sekolah? Dia berpikir buruk soal gue. Itu sebabnya dia nggak menghubungi gue sama sekali."

Riana berpikir. "Sudah lama, gue lupa."

"Sialan lo, Ri." umpat Keenan.

Riana menatap Keenan penuh rasa bersalah. "Sorry, Kee."

Keenan menatap Riana kesal, tapi ia tahu ia tidak bisa melakukan apa-apa. Berharap pada Riana sama saja dengan angsa yang berharap cacing bisa menyelamatkannya. Percuma. Sekarang yang perlu ia lakukan hanyalah memperbaiki keadaan.

Keadaan apa? Ingin rasanya Keenan tertawa. Semua keadaan sudah terlalu rumit untuk diperbaiki. Keluarganya, pertunangannya, tanggung jawabnya, Kara...

"Lo pengen gue bilang yang sebenarnya pada Kara?"

Keenan tersenyum sinis. "Gue bahkan yakin Kara tidak mau berbicara sama lo."

Riana tertohok.

"Tidak perlu. Lo nggak usah melakukan apa-apa yang justru memperumit keadaan."

*****

Setelah pertemuannya dengan Keenan, Kara menjadi sangat bimbang. Ia tahu dirinya harus menjauh dari laki-laki itu, tapi entah mengapa ada sebagian dari dirinya yang merasa senang bertemu Keenan lagi—dan bahkan ingin selalu bertemu dengannya! Kara merasa bodoh. Setelah apa yang dilakukan Keenan padanya, seharusnya ia membenci laki-laki itu—sama seperti ia membenci Riana. Bagaimanapun Keenan dan Riana bersekongkol membocorkan rahasianya di depan semua orang—membuat semua orang menghujatnya. Bahkan saat ia benar-benar membutuhkan seseorang—Keenan—laki-laki itu tidak berangkat sekolah demi menghindarinya.

Kara memandang bintang di langit—kenangan masa lalu menghampirinya. Ia terhanyut perasaan saat ia dan Keenan masih bersahabat. Bersama Keenan semuanya terasa mudah. Laki-laki itu benar-benar menenangkannya di saat ia benar-benar tersiksa karena kematian Bunda. Belum lagi ia tidak memiliki siapa-siapa. Hanya Keenan pusat dunianya—dan Paman Sam? Paman Sam sih sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.

Tapi tadi Keenan menghampirinya? Bukankah itu berarti Keenan masih peduli padanya?

Tidak ada gunanya juga Keenan peduli atau tidak padanya. Ia tetap akan meninggalkan masa lalu.

Kara menghela nafas panjang.

*****

"What's wrong?" tanya Clarissa pada Riana.

"Apanya?"

"Lo sama Keenan. Setahu gue dia nggak suka banget sama elo sampai kalau mau bicara sama lo harus lewat orang lain. Tapi kenapa? Kenapa hari ini dia menemui lo dan kelihatan serius banget?"

"Nggak ada apa-apa." kata Riana tenang.

Clarissa menatap Riana tajam. "Lo nggak sembunyiin sesuatu dari gue, kan?"

"Nggak kok. Dia hanya ngomongin soal acara BEM aja. Dia pengen desain baju gue digelar di festival tersebut."

"Terus kenapa dia nggak ngomong ke gue juga?"

"Mungkin karena kalian ada masalah?"

"Masalah? Kita nggak punya masalah. Kita lah masalahnya."

"Well—" Kemudian Riana berpikir. "Kalau lo dan dia masalahnya, kenapa kalian tetap bersama?"

"Orang tua kita jodohin—"

"Tapi lo bisa nolak. Bokap dan nyokap lo memberikan seluruh pertimbangannya di elo. Jangan-jangan lo beneran suka sama Keenan, ya?"

"Gue??" Clarissa terlihat bingung. "Emang kenapa kalau gue suka Keenan?"

"Saran gue jangan deh. Lo bakal sakit hati. Seberapa cantik elo dan seberapa besar usaha lo nggak akan mengubah hati Keenan."

Kening Clarissa mengerut. "Ri, sebenarnya apa hubungan lo sama Keenan?"

"Hubungan gue? Tentu saja gue musuhnya—"

"Tapi lo terdengar sangat tahu tentang dia."

"Karena gue pernah jadi temannya." Dan mencintainya, batin Riana. "Lo tahu istilah orang yang paling benci lo sekarang, bisa jadi dulunya adalah orang yang paling dekat sama lo? Mungkin gue dan Keenan bisa dikatakan seperti itu."

Clarissa terdiam.

"Dan gue menyesal, Ris. Gue menyesal sudah merusak persahabatan gue sama dia hanya karena keegoisan gue. Gue ingin berguna buat dia—sekali saja. Hanya saja sekarang sepertinya semua pintu itu sudah tertutup. Dia mungkin nggak akan memaafkan gue," kecuali Kara memaafkannya dan mereka bersatu lagi.

Riana memandang Clarissa penuh penyesalan. Meski dia dan Clarissa baru dekat akhir-akhir ini karena proyek desain, ia tetap mereka tak enak. Maafkan gue, Ris, batin Riana. Setelah ini hidup lo tak akan sama karena gue akan mendukung Keenan supaya bisa kembali pada Kara, bukan elo.

"So, apa masalah lo sama Keenan?"

"..."

*****

TRULY DEEPLYWhere stories live. Discover now