12

320 82 72
                                    

“Pagi, Fenella.”

“Selamat pagi, Ama....” Aku perlahan mendongak ketika aku merasakan aura kehadiran seseorang di sampingku. Aroma parfum yang segar dan suara lembut itu kukenal jelas, Amanda. Tetapi ada yang berbeda dengannya hari ini. “Amanda, kau potong rambut?”

Amanda tersenyum lebar, gigi-giginya yang putih dan rapi seperti menjawab semua pertanyaanku dengan jelas .

“Bagaimana penampilanku?” tanyanya.

Bagaimana ya menjelaskannya? Poninya dipotong agak kependekan, rambut bergelombangnya juga dipangkas sampai ke atas bahu, telinganya terlihat semakin mungil. Seperti ras pixie dari negeri dongeng. “Kalau aku terlahir sebagai laki-laki, mungkin aku akan jatuh hati padamu, Amanda,” jawabku, tentu saja dengan nada bercanda yang garing.

Akan tetapi Amanda tertawa, seolah puas dengan jawaban yang kuberikan. Dia meletakkan tas dengan hati-hati, lalu duduk di sampingku dengan senyum berbunga-bunga.

“Ada laki-laki yang kau suka?” tanyaku, menyelidiki.

“Eh? Ah, tidak. Maksudku belum. Maksudku....”

“Kau suka dengan seseorang, kan?” Aku tahu. “Kau benar-benar tidak pintar berbohong, ya.”

Amanda memerah, seolah semua darah yang dia punya mengalir dan berkumpul di wajahnya yang tirus. Sorot matanya bergerak ke sana-sini, terlalu malu untuk menatapku.

“Duh, Fenella! Kau ini benar-benar, ya!”

Julia melangkah memasuki kelas ketika aku tertawa. Pandangan mataku mengikuti pergerakannya sampai dia duduk. Tidak ada yang berbeda darinya, kecuali tas dengan warna terang yang kelihatan masih baru, gantungan kunci berbentuk bintang bergoyang mengikuti ritme langkah kakinya. Ketika Tasya memberikan ucapan selamat pagi yang nyaring, Julia membalas dengan senyum simpul dan suara pelan yang hampir tidak bisa kudengar.  

Julia duduk di sebelah Putri. Dua gadis itu saling melempar senyum tanpa kata. Putri masih jadi pemurung karena rasa bersalahnya pada Luna, tapi aku rasa Julia tidak punya perasaan bersalah sama sekali, bahkan mungkin dia sudah lupa dengan tragedi itu.

Saat itu aku semakin yakin. Julia-lah yang cocok jadi target pertama.

***

“Kau sudah menemukannya?”

Elio mengeluarkan botol kecil seukuran ibu jari dari dalam saku celananya. Botol kecil dengan tutup putih itu dia letakkan di atas meja. “Asam fosfat, kan? Itu mudah.” Walaupun Elio berkata dengan nada bercanda, dia terus melirik botol itu dengan ragu-ragu.

“Kerja bagus, Elio.” Aku sedikit mengangkat botol itu, menerawang isinya di bawah cahaya matahari yang menembus jendela perpustakaan.

“Menyelinap ke lab kimia itu susah, tahu.” Elio bersedekap, tatapannya menyelidik seolah takut aku akan berbuat sesuatu yang berbahaya. “Memangnya, asam fosfat buat apa, sih?” tanyanya. “Kau tidak akan....”

“Kau tahu sendiri kan, kalau asam fosfat itu tidak berbahaya. Bahkan banyak produk makanan yang pakai asam fosfat ini dalam bahan makanan mereka, lho.”

Aku tidak tahu kenapa Elio terlihat khawatir dengan ini semua, sejak kemarin dia bertanya ini-itu dengan menyebalkan.

“Aku takut terjadi apa-apa,” katanya.

“Ayolah, Elio. Tidak akan terjadi apa-apa.” Aku mencoba meyakinkan. “Kita hanya akan... sedikit... berbuat jahil.”

Elio masih terus menunduk. Aku benci ketika sorot penuh keraguan itu menatapku secara langsung, seolah berkata, “ini salah, ini tidak benar. Kita tidak harus melakukan ini.” Aku benci tatapan itu. Benci, benci, benci. Untuk Elio yang menderita kanker, tidak seharusnya sisa hidupnya yang tinggal sedikit itu dihantui keraguan.

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Where stories live. Discover now