Once Upon a July

326 62 0
                                    

Aku ini siapa?

Grand-père---panggilan akrabku untuk kakek---yang suka bermain piano, pernah bertanya padaku saat aku masih berumur lima tahun. “Julie, kamu ini siapa?”

Grand-père berkebangsaan Prancis. Di masa mudanya, beliau adalah pianis di suatu orkestra. Aku selalu mendengarkan kisahnya setiap malam; tentang dia yang pernah mengajar di Conservatoir de Paris, diundang dan tampil di Sydney Opera House, semangatnya dalam bermain musik, semua itu sudah seperti dongeng tidur yang selalu ia ceritakan setiap malam.

“Aku ini bintang!” seruku. “Julie ingin jadi pianis seperti Grand-père!”

Akan tetapi Grand-père tertawa mendengarnya, lalu menepuk ujung kepalaku dengan lembut. “Kamu harus jadi dirimu sendiri, Julie.”

Jadi diriku sendiri? Memangnya, aku ini siapa?

Sebelum aku menjawabnya, nada C-sharp minor keluar dari tuts yang ditekan, serangkaian nada melodis menyusul mengikutinya. Grand-père memainkan lagu ini lagi. Moonlight Sonata, aku suka lagu ini. Beethoven menulis lagu karena terinspirasi dengan sinar bulan yang ada di danau Lucerne, seolah sinar bulan itu membisikinya. Ketika aku menutup mata, kurasa aku bisa melihat pemandangan yang sama seperti yang Beethoven lihat; bulan purnama yang besar, terang, dan terpantulkan oleh kedalaman danau. Menghangatkan.

Tanpa sadar, aku pun mulai bersenandung, tubuhku berputar-putar dengan tangan yang kurentangkan seperti sayap. Bisa kurasakan rok terusanku yang ikut mengembang dan berputar mengikuti langkah kaki yang bergerak tanpa arah.

Ini lagu tanpa lirik, tapi aku bisa merasakan emosi di dalamnya; perasaan Beethoven yang dalam, perasaan Grand-père yang memainkan pianonya, juga perasaan sang piano sendiri yang bernyanyi.

“Musik tidak akan pernah ada, dari mereka yang tidak berperasaan.”

Grand-père pernah berkata seperti itu, dan aku mempercayainya.

Aku menghentikan senandungku ketika kurasakan tuts piano tidak lagi berbunyi. Lagu itu sudah berganti menjadi serangkaian tepuk tangan ringan yang sedikit kurang bertenaga. Kubuka mata perlahan, membayangkan euforia yang akan datang. Yang kulihat pertama kali adalah senyum hangat Grand-père. Senyum terakhirnya.

Grand-père meninggal bersama Papa. Kecelakaan pesawat menghempaskan keduanya. Hari itu tanggal 21 Juli, aku ingat jelas, dan akan selalu kuingat. Padahal itu hari ulang tahunku yang ke sembilan, Grand-père dan Papa seharusnya pulang dari perjalanan bisnisnya di Prancis, membawakanku banyak kado ulang tahun. Aku ingat Grand-père pernah menjanjikanku sepasang anting dengan gandulan bermotif treble clef, boneka kecil yang bisa menyanyi merdu, juga sebuah kotak musik dengan boneka porselen kecil yang menari ketika dibuka. Sayangnya, semua kado itu tidak pernah datang.

Jasad Grand-père dan Papa ditemukan sembilan jam setelah pesawat diumumkan melenceng dari radar, jatuh di sebuah perairan. Beberapa korban selamat muncul di program berita televisi berminggu-minggu kemudian, menceritakan betapa mengerikannya kejadian dalam pesawat saat itu. Mendengarkannya membuatku mual.

Kenapa bukan mereka saja yang mati?

Kenapa harus Grand-père dan Papa?

Mereka juga duduk di pesawat yang sama, kan? Menghirup udara yang sama, mendengarkan suara teriakan yang sama. Itu tidak adil, kan? Kenapa mereka tidak mati juga?

Ketika aku mengintip Mama yang sendirian di kamarnya, kupikir Mama juga berpikir yang sama sepertiku.

Setelah prosesi pemakaman, Mama mengambil alih bisnis Papa. Sebelumnya, Mama hanya perempuan glamor yang sedikit ceroboh. Kesehariannya lebih sering di kamar atau di ruang tengah, menyulam, menjahit, atau membuat desain gaun. Mama bilang, dulu ia ingin menjadi desainer, membuka butik sendiri yang penuh dengan gaun hasil karyanya sendiri.

“Ini bukan merajut, Julia. Ini namanya crochet.” Aku ingat Mama pernah mengajariku sedikit. “Lihat, jarumnya rajutnya cuma ada satu, di ujungnya juga ada pengaitnya.” Ia mengambil jarum lain dari kotak penyimpanan. “Nah, kalau pake dua jarum ini, namanya knitting.

Mama mungkin berbakat dalam menjahit, tapi kurasa ia tidak memiliki keberuntungan. Semua desainnya ditolak. Terlalu kuno, katanya. Tidak ada pameran dan model yang menerima gaunnya. Walaupun begitu, Mama tidak pernah menyerah. Ia terus membuat gaun impiannya.

Aneh memang, membayangkan desainer seperti Mama bisa memiliki hubungan dengan Papa yang musisi. Dunia mereka dilihat dari mana pun adalah dunia yang berbeda. Mama tidak terlalu tertarik dengan musik, dan Papa kelihatannya juga tidak peduli dengan perkembangan fashion.

Sejauh yang aku tahu, mereka bertemu pada malam Natal. Papa yang akan menjadi konduktor di sebuah orkestra gereja, bertemu dengan Mama yang saat itu sedang merias dan memakaikan kostum Santa dan rusa pada anak-anak. Bisa dibilang, hubungan mereka berawal dari sana.

Setelah mengambil alih bisnis alat musik Papa, pergelutan Mama dengan kain-kain perlahan berkurang. Ia bangun pagi-pagi untuk ke kantor, mengecek barang-barang. Kurasa, Mama sedang beradaptasi dengan dunia bisnis dan musik peninggalan Papa.

Dua tahun sejak memasuki dunia bisnis, Mama yang sosoknya seperti boneka kain perca yang rapuh itu akhirnya terjatuh. Bisnis punya Papa dulu itu tidak bisa bertahan, jatuh ke dalam lubang tanpa dasar bernama utang. Partner Mama yang dulunya juga teman kuliah Papa sudah menipu dan membawa lari uang perusahaan. Padahal, Mama sudah menjual sebagian besar aset Grand-père untuk mempertahankan perusahaan itu dua tahun ini.

Piano bosendorfer putih yang menjadi benda kenangan paling berharga dari Grand-père juga ikut diambil. Kami bahkan harus pindah ke rumah yang lebih sederhana dengan perabotan seadanya.

Kenapa dia tidak mati saja?

Partner yang sudah menipu Mama itu, kuharap dia mengalami kecelakaan. Seharusnya, orang seperti itu yang mengalami kecelakaan tragis. Tidak ada yang lebih kuinginkan selain melihat tubuh orang itu remuk terjepit badan pesawat, atau hilang tenggelam di dasar lautan, sendirian dalam kegelapan.

Beruntungnya diriku, Mama adalah orang yang pekerja keras. Setiap pagi aku mendengarnya bersenandung, menggumamkan lagu yang tidak kuketahui ketika ia sedang menyiapkan sarapan, seolah tidak ada tragedi yang terjadi.

Mama akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai pramusaji restoran. Beberapa bulan selanjutnya, ia diangkat menjadi kasir. Lalu, ketika aku masuk SMP, posisi Mama sudah menjadi manajer keuangan. Mungkin, setelah gagal menjalankan bisnis Papa, Mama sudah berkembang menjadi orang yang lebih berhati-hati mengawasi keluar masuknya uang dan barang.

Kondisi ekonomi kami perlahan membaik. Walaupun aku masih sering berpikir kalau saja Papa dan Grand-père masih ada di sini, kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin hidupku tidak sekosong ini. Ada yang hilang dalam hidupku dan aku tidak tahu apa itu.

“Kau ini siapa?”

Seorang gadis dengan pita merah yang mencolok menyapaku. Bukannya bertanya ‘siapa namamu?’ dia malah bertanya seperti itu dengan nada yang kasar.

“A-Aku Julia,” lirihku hampir seperti berbisik. Di dalam kepalaku, aku mendengar suara serak Grand-père menanyakan hal yang sama, dan aku akan menjawab dengan nada kekanakan, Julie ini bintang. Julie ingin jadi pianis seperti Grand-père!

Setelah diingat-ingat kembali, kurasa memang sedikit memalukan kalau membayangkan aku menjawab seperti itu sekarang.

 “Julia?” Gadis berpita itu menyebut namaku sambil memasang wajah bingung. “Julia? Juli-a. Juli. Juliet.... Hei, boleh aku memanggilmu Juliet?”

Aku tidak sempat bersuara, alisku yang membentuk kerutan sudah lebih dulu memberi respon.

“Ayolah, kita akan menjadi teman sebangku hari ini. Kita butuh nama julukan agar hubungan kita menjadi lebih dekat, kan?” Gadis itu tersenyum lebar, lalu mengulurkan sebelah tangan. “Oh iya, namaku Putri. Kau boleh memberiku julukan apa pun yang kau mau.”

Walaupun aku tidak pernah ingin dipanggil atau memanggil dengan nama julukan, tidak pernah kubayangkan, gadis bernama Putri ini akan menjadi teman terbaikku di masa-masa sekolah ini.

Setidaknya, sebelum kami mengenal Luna.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang