27

231 47 0
                                    

FENELLA YANG MENDORONG LUNA. DIA YANG MEMBUNUHNYA!

“Sudah cukup lama sejak pertama kali aku menemukan surat-surat itu di meja.” Elio membuang wajah ke samping, seolah dia benar-benar tidak ingin melihat wajahku. “Surat-surat itu datang setiap hari, pagi ini juga.”

Perlahan, wajahnya terangkat. Sorot mata Elio yang penuh kekecewaan itu, akhirnya menatap langsung ke arahku.

“Tentu saja, awalnya aku tidak percaya. Surat ini pasti salah. Pasti ada yang salah. Aku selalu memikirkannya.” Dia membungkuk, mengambil salah satu kertas yang jatuh di kakinya. “Bagaimanapun, aku lebih percaya dengan diary Luna. Luna selalu bilang, kau adalah teman terbaiknya. Ini pasti salah paham.”

“Surat ini benar, Elio,” kataku. “Memang aku yang mendorong Luna.”

Elio mengernyit, seolah tidak ingin percaya. “Kenapa? Kukira kalian....”

“Aku cuma ingin membantunya. Itu saja. Tidak ada alasan lain.”

“Membantu dengan cara mendorongnya?! Sama seperti yang kau lakukan pada Putri tadi?” Nada suara Elio meninggi, dasar laki-laki yang tidak sabaran.

“Benar, memang begitu. Itu yang aku lakukan.” Aku mengangguk-angguk.

Kepalan tangan Elio mengerat, seolah semua emosinya berkumpul menjadi satu di sana. Sorot matanya juga, berapi-api, seperti hakim yang mengetuk palu, menimpakan semua kesalahan padaku.

Memangnya, apa yang salah? Apa salahku?

“Kau monster, Fenella.” Elio mendekat dengan langkah cepat. Suara hentakan seolah menghipnotis, membuatku tidak bisa pergi ke mana-mana. “monstermonstermonstermonster.” Elio mencengkeram bahuku, meremasnya dengan seluruh kekuatannya. “Bagaimana? Bagaimana bisa kau membunuh Luna?!”

Sakit. Bahuku sakit. Tanganku bergerak dengan sendirinya, berusaha melepaskan diri. Tapi, jemari Elio bergerak lebih cepat. Sekarang dia mencengkeram leherku, mencekikku seperti tali yang terikan erat. Aku tidak punya kekuatan untuk melepaskannya.

Aku sudah mencakar-cakar lengannya, juga menendang-nendang tungkai kaki Elio. Tapi percuma. Percuma. Elio bagaikan tidak peduli dengan dirinya sendiri. Yang dia pikirkan cuma ingin mencekikku lebih erat lagi.

Di saat aku mulai kehabisan napas seperti itu, konyolnya, Elio malah membuang napasnya dengan menggebu-gebu. Wajahnya memerah, pundak dan dadanya naik turun.

“Bagaimana. Ekspresiku?”

Samar-samar, sebelum kesadaranku menghilang, aku melihat Elio mengernyit. Dia tidak paham, ya.

“Bagaimana....”

“Berhenti bicara!” Jemarinya gemetaran. “Berhenti tersenyum seperti itu! Kau....”

Ah, begitu ya. Jadi aku sedang tersenyum. Elio melihatku sedang tersenyum. Apa aku akan mati dengan ekspresi ini?

Perlahan, aku merasakan tubuhku melayang. Tubuhku terasa ringan, seolah sedang berenang. Buram. Semuanya berputar. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Kesadaranku meninggalkanku. Sendirian.

“Berhenti!”

Ah, aku mendengar suara. Suara itu. Aku kenal suara itu. Suara Amanda. Suara sepatunya, berlari, semakin lama semakin dekat.

“Berhenti, Elio! Luna tidak ingin kau menjadi pembunuh! Berhenti!”

Lalu, aku tidak merasakan apa-apa lagi.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang