24 | LD

7.6K 248 13
                                    

VOTE SEBELUM MEMBACA!
Jangan lupa follow lapak ini ya!


























Happy reading!

Vaya terbangun dari tidurnya, ia merasakan bahwa Altar menaruh kepalanya di dada Vaya serta lengan lelaki itu memeluknya erat, layaknya guling. Vaya mengelus rambut Altar dengan lembut.

Hari ini hari libur, Vaya tak enak membangunkan Altar dari tidurnya. Perlahan, ia menyingkirkan lengan kekar dan besar itu. Vaya beranjak dari tempat tidur, menuju dapur untuk membuat sarapan.

Vaya hanya membuat roti panggang dengan unsalted butter dan juga roti selai. Kedua makanan itu merupakan makanan favorit Altar.

Tak lama kemudian, Vaya menoleh ke arah Altar yang shirtless, ia pergi ke dapur dan mengambil susu disana. Lelaki dengan tubuh setinggi 185 cm itu melingkarkan satu tangannya diperut Vaya, dan satunya lagi untuk minum.

Vaya merinding.

Altar menegak susu itu sampai habis, ia menaruh gelas itu dan menaruh dagunya dibahu Vaya. "Mau," Vaya memberikan roti yang sudah jadi kepada Altar, lelaki itu mengambil dengan senang hati.

Vaya mematikan kompor, ia mengambil roti panggang dengan diatasnya alpukat serta tomat ceri. Vaya duduk dihadapan Altar.

Baru saja Vaya ingin makan, roti Altar sudah habis. Secepat itu.

"Mau lagi?" Altar menggeleng. "Maunya lo," Vaya mengerjapkan kedua bola matanya polos sehingga membuat Altar terkekeh.

"Hey," panggil Altar, Vaya menoleh.

"You're so pretty, my Queen." Ucap Altar tanpa melirik ke arah lain selain kedua bola mata gadis itu.

"Tapi, Vay bau." Ucapnya lalu mencium baju yang ia pakai.

"I don't fucking care, sayang." Jawabnya serak.

"Ih Al,"

"Hmm?"

"Malu," Vaya memalingkan wajahnya, gadis ini terlalu menggemaskan. Namun sayangnya ia milik orang lain, bukan miliknya.

"Vay," Vaya menoleh ke arah Altar.

"Lo inget 'kan kalo cuma gue yang bisa mutusin lo?" Bisa-bisanya Vaya lupa hal ini.

"Karena sampai sekarang gue belum mutusin lo, lo masih milik gue. Urusan Dean, belakangan." Ucap Altar.

Vaya sebenarnya ingin mengatakan sejujurnya. Namun ia takut. Sangat takut. "Al," Vaya memanggil, Altar menoleh.

"Vay mau jujur," Altar menyatukan alisnya.

"Vay.. terlanjur suka sama Dean," katanya menunduk, seketika darah Altar mendidih.

"Lo serius?" Vaya mengangguk cepat.

"Perlakuan Dean yang manis buat Vaya makin jatuh, Al." Katanya.

"Nggak, gak mungkin." Dinginnya.

"Vay serius, Vay gak bohong."

Altar berdiri, menatap tajam ke arah Vaya. "2 setengah tahun lo sama gue pacaran, gak semudah itu lo move on, Vay!" Bentak Altar marah.

Vaya mulai menangis ketika ia dibentak. "Vay memang suka Dean, Al." Ucapnya mencoba untuk mengerti Altar. Ia mengatakan hal ini supaya Altar bisa mendapat gadis yang jauh kebih baik dibanding Vaya yang selalu membuatnya marah.

"BARU kemarin lo baik-baikin gue," dinginnya menahan emosi, Vaya menunduk.

"Keluar dari rumah gue," dingin Altar.

"KELUAR!" Bentaknya marah. "Satu lagi. Gue mau PUTUS!" Jantung Vaya seakan melompat sedetik, ia tak percaya bahwa Altar memutuskannya.

"KELUAR GUE BILANG!!!!" Bentaknya marah.Vaya mengangguk menuruti perintah Altar. Vaya keluar dari ruangan milik Altar.

Vaya mengeluarkan air matanya lagi, berat rasanya meninggalkan Altar di apartemen ini. Vaya memencet tombol lobi. Vaya sedikit tersentak ketika mendengar suara pecahan dan geraman Altar marah.

Sorry, batinnya.

• LA DOULEUR •

Rumah Dean dalam keadaan sepi, gadis itu melangkah pelan ke kamarnya. Pas sekali ketika Dean keluar kamar dengan wajah bantalnya. Dean menarik Vaya kedalam dekapannya, ia mengetahui gadis ini menangis.

Dean mengelus rambut Vaya dengan lembut sehingga membuat Vaya semakin menumpahkan air matanya. Vaya sudah menjadi pacar Dean selama sebulan setengah, hal itu tidak membuat dirinya move on dari Altar.

Apakah ia harus mengatakan sejujurnya kepada Dean? Sepertinya harus.

"Dean,"

"Vay," ternyata mereka memanggil nama satu sama lain secara bersamaan.

"Lo duluan,"

"Nggak, Dean aja dulu, kayaknya penting." Dean menganggukan kepalanya lalu membawa Vaya ke kamarnya. Ia menyuruh Vaya duduk, namun Dean berdiri.

"Kayaknya gue sama lo sampe sini aja," ucap Dean lalu menghela nafasnya sehingga membuat Vaya menoleh kearah Dean.

"Gue tau, lo masih ada rasa sama Altar. Lo lebih bahagia sama dia dibanding lo sama gue."

"Dean.." lirih Vaya sehingga membuat gadis itu menjatuhkan air matanya. "Sorry," lirih Vaya yang nyaris tidak ada suaranya.

"It's okay," ucap Dean.

"Lo masih cinta sama dia kan? Perbaiki semuanya sama dia," ucapnya.

"Too late, Dean." Ucap Vaya.

"Maksud lo?"

Vaya tersenyum sekilas lalu menyeka air matanya. "Sebelum Vay pulang, we had a fight. Karena Vay bilang, Vay ada rasa sama Dean. Dia percaya gitu aja," ucapnya.

"Kenapa lo bilang lo suka sama gue?" Tanya Dean bingung. Tak tahu ia harus senang atau sedih karena kalimat itu hanya kalimat lelucon.

"Karena.. Vay merasa kalau Vay itu gak baik untuk Al. Vay selalu buat Al marah, buat Al ngamuk, Vay mau Al dapet cewek yang lebih baik dari Vay." Ucap Vaya lalu menyeka air matanya.

Dean menghela nafasnya pelan. "Maupun dia sama cewek lain tapi kalau hatinya buat lo, cewek lain gak ada apa-apanya dibanding lo." Ucap Dean.

"Lo mau nyerah gitu aja?"

Vaya menggeleng.

"Bangkit, minta maaf ke dia sebelum semuanya berakhir."

• LA DOULEUR •

Ada yang kangen sama cerita ini?

VayDean

VayAltar

VayKyle

LA DOULEUR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang