BAB 43

28 6 2
                                    

Pedoman pelafalan:
Destrius : Des-tri-us

❄❄❄

"Kau kenapa?" Tanya Hillyan.

Aku menoleh kearahnya. "Hm? Memangnya aku kenapa?"

Raut wajahnya berubah. "Tidak biasanya kau memotong sayuran seperti itu."

"Aku selalu memotong sayuran seperti ini."

Hillyan mengambil pisauku secara paksa. "Lihatlah." Aku melihat kearah talenan yang kugunakan untuk memotong sayuran. "Potonganmu sungguh berantakan."

Aku hanya bisa mengerjap-ngerjap. Aku melipat mulutku kedalam dan menutup mataku rapat-rapat. Kemudian membukanya kembali sambil bersandar pada meja dapur.

"Ada apa? Kau ada masalah?" Tanya Hillyan.

Aku diam sebentar. "Tidak apa. Aku hanya sedikit pusing."

Hillyan menarik talenanku dan mulai melanjutkan memotong sayuranku. "Itu mungkin karena kau lelah merawat para Peri Agung itu. Sebaiknya sekarang kau istirahat. Biarkan aku dan yang lain saja yang memasak." Ucap Hillyan sambil terus memotong sayuran.

Aku mengerjap-ngerjap sebentar kemudian berjalan kearah kursi meja makan. Aku duduk disalah satu kursinya. Kutumpukan kedua tanganku diatas meja. Kuusap dahiku dengan kedua tanganku. Aku mendengus. Bukan karena aku kelelahan mengurus ketiga Peri Agung itu. Tapi kurasa, aku tidak bisa fokus karena pikiranku terpenuhi oleh satu nama yang disebutkan oleh Minhyun.

Minju.

Siapa dia sebenarnya? Kenapa Minhyun bisa sampai mimpi buruk seperti itu karena dia? Apa dia punya kenangan buruk tentang Minju? Apa Minju meninggalkannya? Atau sesuatu yang lain terjadi pada Minju?

Apapun yang telah terjadi atau yang telah dilakukan Minju, aku bisa menarik kesimpulan bahwa satu-satunya kelemahan Minhyun yang kutahu sekarang adalah Minju.

"Kau nampak kurang baik hari ini." Aku mendongak kaget mendengar suara Seongwoo. Dia berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelahku. Dia mengambil sebuah apel yang memang disajikan diatas meja makan. "Ada apa?" Tanyanya sambil memakan buah apel.

Aku melipat tangan sambil mengangkat kedua bahu. Aku menggeleng sedikit, "aku baik."

Dia menggigit lagi buah apelnya sambil memandangiku. "Kau yakin? Wajahmu benar-benar menunjukkan kalau kau sedang tidak baik-baik saja."

"Apa aku pernah terlihat baik-baik saja sejak berada disini?"

Seongwoo dan aku saling tatap. Kemudian dia memalingkan wajahnya dan menggigit apelnya lagi. "Yah, paling tidak dalam beberapa hari ini kau sudah bisa kusebut manusia sungguhan."

Aku mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Pertama kali aku melihatmu, aku sempat tidak percaya kalau kaulah yang membunuh Woojin." Pembahasan ini lagi. Aku memutar mata malas. "Kau tampak kurus kering tak terawat. Kau nampak seperti kaktus yang kering kekurangan air, padahal kaktus bisa menyimpan air. Karena itulah aku ragu apakah kau benar-benar manusia atau bukan."

Aku mendengkus, "karena penampilanku seperti kaktus kering?"

Dia sedikit menyunggingkan mulutnya. Kemudian dia menggigit kembali apelnya. "Tapi semenjak kau disini, penampilanmu terlihat lebih baik. Kau lebih terlihat seperti manusia sungguhan daripada sebelumnya."

Aku mengerutkan dahi. "Maksudmu aku sudah seperti kaktus yang sehat?"

Mulutnya mencebik. "Seperti itulah."

"Yah, terima kasih sudah menjadikanku lebih sehat selama disini." Aku sempat berpikir bahwa mereka memang memperlakukanku seperti hewan ternak. Disayang, dirawat, diberi makan sampai gemuk dan sehat, setelah cukup gemuk akan dipotong dan dimakan. Tapi aku harus tetap berterima kasih karena masih membiarkanku merasakan makanan enak, tampat tinggal yang nyaman, baju yang bagus dan perlakuan yang layak sebelum aku mati menyedihkan.

AZECTHIAN : The Wolf, The Fairy, and The IceМесто, где живут истории. Откройте их для себя