BAB 16

48 12 1
                                    

"Tutup matamu."

Aku segera menjauh dari dekapan peri itu. Jantungku berdetak cepat. Tubuhku kembali menggigil, bukan karena kedinginan tapi karena ketakutan.

Kutatap tajam dan takut wajah peri itu. Tanganku menggenggam erat tali jubah yang terikat dileherku. Napasku yang memburu tidak bisa kukontrol lagi.

Cahaya putih dengan percikan-percikan biru bersinar mengular dibelakang peri itu, lebih tepatnya cahaya itu mengular pada kuda hitamnya. Aku melebarkan mataku saat cahaya itu hilang dan kuda hitam yang kulihat tadi berubah menjadi seorang laki-laki. Tubuhku semakin gemetar melihatnya.

Peri lainnya.

Peri yang memakai tunik merah yang serupa dengan warna rambutnya itu berjalan mendekati peri bermantel hitam. Kuamati bagian telinga atasnya yang meruncing. Telinga peri. Satu-satunya bagian pembeda antara peri dengan manusia.

"Akan kubunuh kau." Suara peri berambut merah itu terdengar lebih dingin daripada angin malam musim dingin. Peri bermantel hitam menelengkan kepalanya dan melirik peri berambut merah. "Beraninya kau menyihirku menjadi kuda hitam."

Peri bermantel hitam menoleh sepenuhnya pada peri berambut merah. "Manusia tidak akan percaya dengan adanya kuda merah." Peri berambut merah itu mendengus kesal.

"Yah," aku menoleh secara refleks dan terkejut melihat seorang perempuan tinggi berambut hijau panjang berjalan dari belakangku dan mendekati dua peri laki-laki itu. Aku berbalik kebelakang dan tidak mendapati kuda putih yang kutumpangi tadi. Apa peri perempuan itu adalah kuda putih itu? "Kuda hitam jauh lebih baik dari keledai dungu." Peri berambut merah semakin mendengus kesal mendengar ucapan peri perempuan itu.

Aku.... aku masih berdiri, gemetar ketakutan dan otakku terasa berhenti menelaah apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Dari pada itu," Si rambut merah melipat tangannya sambil menoleh kearahku. "Kau yakin yang membunuh Woojin adalah manusia itu?" Tatapan tidak percaya dan jijiknya mengarah padaku, seolah aku ini manusia jelek, dungu, dan menyedihkan. Yah, walau aku sedikit kesal, tapi memang kenyataannya begitu.

Peri perempuan itu menoleh kearahku. "Jangan takut. Kami tidak makan manusia."

Si peri merah mendenguskan tawanya, benar-benar tertawa. "Ucapanmu yang menakutkan, nek."

Peri perempuan itu melirik tajam kearah si peri merah. "Sudah kubilang, jangan panggil aku nenek." Si peri merah mengendikkan bahunya.

"Sudahlah." Lerai peri bermantel hitam. Dia beralih menatapku sekarang. "Mendekatlah."

Jantungku kembali bergemuruh ketakutan. Kueratkan cengkeramanku pada jubah dan tidak bergeming sama sekali dari tempatku. Yang bisa kulakukan hanya menatapi satu per satu ketiga peri didepanku.

Si peri merah memutar matanya dan mendengus. "Ayolah. Aku ingin segera mandi dan tidur." Ucapnya padaku yang mendapat lirikan sinis dari peri perempuan.

Aku mengeraskan rahang saat mengatakan, "A-apa kalian.." tak dapat kulanjutkan kata-kataku saking ketakutannya. Bagaimana tidak? Ada tiga peri mematikan dihadapanku sekarang. Aku sudah tahu secuil kekuatan mematikan peri bermantel hitam itu. Namun, untuk kedua temannya... aku harus berhati-hati kalau tidak ingin kepalaku meledak dalam satu kedipan mata.

Peri perempuan menghadapku sepenuhnya dengan tangan terlipat. "Peri agung. Aku yakin leluhurmu sudah menceritakan secuil sejarah tentang peri agung."

Peri agung. Peri agung? Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi? Kalau tahu begini, aku lebih baik mati didalam rumahku bersama keluargaku daripada mengikuti jenis peri paling berbahaya ini ke tanah beracun mereka.

AZECTHIAN : The Wolf, The Fairy, and The IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang