19a. MEETING YANG PANJANG

271 51 6
                                    

"Enggak ada lagi, kan?" Di layar, wanita itu terkekeh ketika seorang pria muda muncul melambai ke arah kamera lantas mengecup kepalanya. "Aku left duluan ya, silakan dilanjut meeting-nya." Josephira melambai saat memutus sambungan zoom meeting, wanita itu tampak kepayahan membawa bobot tubuhnya yang semakin menggelembung. Adam mendengkus kasar jika mengingat bukan benihnya yang ada di balik perut yang membuncit itu. Dalam hati Adam berjanji kalau dia akan mendapatkan tender suplai besi yang lebih besar. Hanya itu yang bisa Adam lakukan untuk mendapatkan kepercayaan Josephira, Joy pun akan bangga dengannya.

"Waktu sama kau, tak pernah kulihat muka mantan istrimu secerah itu, Dam," celetuk seseorang bersuara cempreng sambil terkekeh. Siapa lagi kalau bukan Maruli, Adam tertawa kering menanggapi. Hubungannya dengan Josephira sudah menjadi rahasia umum setelah kematian Darius. Bahkan aibnya sebagai pria mandul pun diketahui sampai ke sudut terdalam Wijaya Tama Steel.

"Saya tidak menyangka kalau Ibu Jo hamil juga setelah desas desus yang berkembang di perusahaan," lanjut Maruli lagi. Pria sepuh itu sudah memutih hampir seluruh rambutnya. Usianya sedikit lagi dua kali lipat dari umur Adam. Puji Tuhan, Maruli dianugerahkan kehidupan yang panjang. Tidak seperti ketiga rekannya yang sudah berkalang tanah, Darius, Joseph dan Romansyah. Jika saja Adam tidak ingat kalau pria itu adalah rekan lama Darius, dia mungkin akan membentak.

Sayang, Adam tidak mungkin melakukan itu, dia hanya bisa menyengir malu untuk sebuah sindiran yang jelas-jelas ditujukan padanya. Adam menghormati pria itu. Maruli menjadi pemilik saham tertua dan peduli pada Wijaya Tama Steel. Satu-satunya generasi lama yang bertahan di jajaran direksi. Pria itu selalu tampil bersahaja meski harta melimpah. Kekurangan Maruli hanya satu, mulut pria itu suka mengoceh tanpa saringan. Maruli terkadang tidak memikirkan pikiran lawan bicaranya.

"Dari pada bergosip, bagaimana kalau kita lanjut meeting ini, Paman." Adam berusaha memintas suara riuh yang tiba-tiba bergemuruh. Para peserta meeting terpancing oleh celetukan sang Komisaris Utama. Pria baya itu mendelik geli karena ucapan Adam.

"Loh? Saya tidak bergosip, Pak Adam. Saya berbicara kenyataan." Maruli terbahak, perut buncitnya ikut bergoyang seirama dengan tawa.

"Maksud saya, itu urusan pribadi saya. Sangat tidak etis jika Paman menyinggung-"

"Baiklah, Adam," sela Maruli dengan logat khas Batak yang kental. Puluhan tahun tinggal di Jakarta, rupanya tidak mampu menutupi asal usul pria baya itu. "Kau maafkanlah saya. Ayo, dilanjutkan lagi. Kalian tidak kasihan samaku? Sudah tua begini masih meeting sampai malam."

Ucapan Maruli membuat Adam sontak menoleh ke dinding di belakangnya. Tepat di atas layar proyektor, jam menunjukkan pukul tujuh belas nol nol. Waduh! Alamat batal janji makan malamnya. Joy pasti murka kalau dia ingkar janji. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

"Kau kenapa lagi, Pak Adam? Cepatlah mulai! Sudah pegal pantatku ini."

Adam ikut tertawa bersama para peserta meeting lainnya meski sempat gelagapan. Dua orang pria yang duduk di dekat pintu izin keluar ruangan untuk melaksanakan salat. Adam mendekat ke laptop lantas membuka dokumen presentasi.

"Sambil menunggu tim dari Divisi Quality Control dan Assurance selesai salat, saya ingin memaparkan sedikit perihal rencana kerja tahunan yang sudah kita bahas dalam RUPS bulan kemarin."

Pointer laser di genggaman Adam menunjuk ke layar yang kini menampilkan rencana kerja perusahaan. Planning merupakan unsur pertama dalam POAC, Adam tidak ingin salah langkah lagi seperti kemarin. Dia harus merencanakan dengan matang untuk menggenjot kinerja pasca dilakukannya restrukturisasi dan transformasi secara menyeluruh.

Restrukturisasi dan transformasi Adam harapkan akan mengubah Wijaya Tama Steel menjadi perusahaan yang sehat dan berdaya saing setelah masalah yang berdampak kerugian besar yang dilakukan Aiman.

"Seperti yang teman-teman ketahui bersama dalam planning cycle kemarin, kita merencanakan untuk meningkatkan kapasitas produksi sekitar 5% yaitu tiga juta ton per tahun." Adam menunjuk pada satu-satunya wanita yang ada di ruangan itu. "Kamu?"

"Chris, Pak," sahut sang wanita berambut pendek. Kaca mata lensa bulat Chris sesekali melorot, tetapi dengan cepat dikembalikan ke posisi semula, menyentuh dahi yang tertutup poni.

"Chrisma, rasanya aneh memanggilmu Chris." Adam terkekeh geli. "Contract Engineer, kan?"

"Betul, Pak."

"Kamu pasti sudah menghitung perusahaan kita butuh bujet berapa untuk menutupi rencana produksi tahun depan." Adam kembali duduk di kursinya, semua mata mengikuti pandangannya. Wanita di samping Handy mengembuskan napas panjang sebelum mulai berbicara.

"Untuk memproduksi 3 juta ton besi diperlukan investasi bahan baku setara dengan 1,5 T, Pak. Biaya itu dengan kondisi kita sama sekali tidak memiliki sisa bahan baku di gudang."

Adam mengelus dagu, tatapannya mengikuti Nanang dan Dipta yang baru kembali bergabung. "Baru bahan baku, belum termasuk biaya operasional dan tenaga kerja?"

"Benar sekali, Pak." Adam berdeham saat Chris mengangguk sambil menunjukkan komponen pertama dari Cost of Good Sold (COGS) atau harga pokok penjualan pada tampilan layar proyektor.

"Begini, Chrisma. Tolong kamu hitung ulang sesuai dengan kondisi kita sekarang. Cari tahu berapa kuantiti besi getas dan scrap impor di gudang. Tampilkan dalam bentuk tabel perbandingan. Saya ingin tahu berapa banyak biaya pokok yang bisa kita tekan jika mengikuti saran Ibu Jo."

"Baik, Pak. Akan saya buatkan. Saya permisi ke ruangan saya, Pak."

"Oh, iya." Adam tiba-tiba mengingat sesuatu. "Tolong siapkan juga draft proposal bujet jika kita mengikuti tender PT Engineering Indonesia."

"Tetapi kita belum tahu nilai tender dan kebutuhan klien, Pak." Chris membantah.

"Kamu bisa perkirakan dari dokumen tender tahun lalu," sahut Adam tidak mau kalah. "Tambahkan 30%."

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Chris berbalik badan lantas keluar ruangan, dia lebih baik mengalah saja. Lihat saja, semua peserta rapat seperti mendukung keputusan Adam.

"Hmmm, lima jam lebih kita meeting baru satu kali ini kau buat aku bangga, Dam." Maruli kembali berceloteh. "Ayo, kita lanjut lagi. Masih banyak yang harus kita bahas."

Adam melirik jam di pergelangan tangan. Pukul delapan belas nol nol. Habis sudah mimpinya berkencan dengan Joy hari ini. Dasar bodoh! Seharusnya dia mengecek jadwal sebelum mengajak anak gadis orang makan malam.

"Sudah Magrib, Paman. Dipta dan Nanang pasti ingin salat dulu. Saya tidak mau dicap sebagai atasan yang enggan bertoleransi."

"Baiklah, kita ishoma dulu. Kita lanjut sejam lagi setelahnya, bagaimana?" Maruli menoleh ke kanan dan kiri. Hati Adam mencelus ketika semua peserta rapat tidak ada yang membantah. Suka atau tidak suka, Adam harus membatalkan janji kencannya.

Huft! Adam melonggarkan dasi lantas melepas satu kancing teratas kemeja. Semua penghuni ruangan itu sudah keluar, meninggalkan Adam dengan kepala penuh dengan pikiran. Dia mengecek ponsel yang sejak tadi sengaja di-off-kan. Pesan Angela masuk bertubi-tubi.

***

The J8Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang