22a. COBAAN BERAT

430 60 5
                                    

Leander dan Joy pulang menggunakan kendaraan masing-masing setelah menikmati malam yang mengesankan. Begitu membuka pintu apartemen, Joy melepas high heels-nya lalu langsung menuju meja rias. Make up-nya sehari-hari tipis. Joy paling anti mengenakan kosmetik tebal menutupi pori-pori. Tidak sehat, nanti kulitnya tidak bisa bernapas. Cepat tua, begitu hal yang diyakininya.

Tangan Joy menggapai botol micellar water. Tunggu, di balik botol ada kardus terbungkus kertas kado beraksen silver mewah. Joy mengingatnya sebagai hadiah tukar kado saat pesta Natal dan Tahun Baru. Pesta diadakan di rumah Liliana dengan dihadiri kawan-kawan SMA. Joy membersihkan wajahnya terlebih dulu, barulah dia naik ke ranjang membukanya.

Sebuah amplop adalah benda yang Joy temukan begitu membuka kertas kado. Lidwina Sascha, teman masa SMA Joy yang terkenal sebagai play girl sekolah. Mulai dari Ketua OSIS, kapten tim basket, dedengkot ekskul futsal, sampai anak paskibra, berebut cinta Lidwina. Wajah blasteran Austria-Manadonya memang saying dilewatkan. Berkah baginya karena pada usia belia Lidwina sudah dapat menghasilkan banyak sekali uang dari hasil keringat sendiri.

Saking cantiknya, Lidwina sering jadi sasaran labrak kakak kelas yang merasa pacarnya berpindah hati. Bukan salah Lidwina. Dia cuma jalan melewati koridor sekolah saja, para siswa antre di pinggir hanya sekadar ingin melihatnya dari jarak dekat. Para siswi sepakat menjadikan Lidwina sebagai musuh bersama. Mirip Angela di JAWS Guard.

Lidwina sudah menikah dengan pengusaha asal Swiss, importir dan pemilik pabrik coklat legendaris. Para pelancong selalu menjadikan coklat produksi pabrik suami Lidwina sebagai oleh-oleh. Uangnya tidak ada habisnya.

Pada saat acara tukar kado, seingat Joy mereka menetapkan harga satu juta untuk setiap orang. Joy sendiri memberikan arloji karena tidak mau pusing memikirkan benda-benda aneh. Sekarang dia penasaran dengan hadiah yang diberikan Lidwina. Joy menggoyangkannya untuk mengetahui isinya sebelum dibuka. Nope, masih tidak dapat menebak. Joy membaca kartu Natal di dalam amplop.

Dear anyone,

Aku nggak tahu siapa yang akan menerima kado ini, tetapi kamu yang nggak pernah coba, wajib coba. This is amazing stuff!

Bunch of love,

Lidwina.

Joy semakin penasaran dengan isinya. Mata Joy membelalak begitu membuka kotak. Sebuah benda pipih berwarna merah jambu yang dia tahu apa itu, tersimpan manis di dalam kotak. Ada tombol-tombol untuk mengatur getarannya. Selain alat itu, kabel dan charger melengkapinya.

Pipi Joy memanas. Benda haram! Mamanya di surga akan segera mengutuknya kalau tahu Joy menggunakan alat ini. Joy sangat awam untuk urusan seksual. Kelewat puritan, kata Lidwina. Kembang sekolah macam dia dapat dimaklumi jika melepas keperawanan saat SMA. Namun Joy? Oh, tidak mudah baginya menyerahkan diri. Juan sangat protektif menjaganya dari tangan-tangan nakal. Hingga di usia kepala tiga, pengalaman seksual Joy sangat minim, bahkan bisa dibilang nol besar.

Joy menge-scan QR code. Sebuah video yang membuatnya panas dingin langsung terputar di ponselnya. Perempuan berwajah Kaukasia tanpa sehelai benang pun menempelkan alat tersebut ke bagian intimnya. Dia menggelinjang, menggeliat ke sana kemari disertai desahan-desahan panas. Joy ikut gelisah hanya dengan menonton adegan.

Otaknya kini berperang melawan hatinya. Otaknya ingin mengeksplorasi mainan pemberian Lidwina, tetapi hatinya memperingatkan bahwa Tuhan tidak menyukainya. Ini dosa besar!

"Ini bukan seks yang sesungguhnya, Joy! Jadi nggak masalah kamu coba," Demikian otaknya berteriak.

"Tapi ini mendorongmu untuk mencoba yang lebih jauh," hati kecil Joy mengingatkan.

Telunjuk Joy rupanya lebih menuruti otak. Tahu-tahu menekan tombol mungil. Getaran halusnya mengagetkan Joy. Ketika menekan lagi, getaran itu semakin kuat. Rupanya ada 20 level getaran. Ada yang lembut, ada yang keras. Ada yang datar, ada yang bergelombang.

"Apa kamu nggak malu, sudah berusia 30 tahun belum pernah pacaran dan merasakan pengalaman ini?" sentak hatinya.

Joy mengarahkan alat itu ke titik rangsangnya di sela paha. Pakaiannya masih lengkap. Awalnya dia mencoba yang getarannya paling lembut. Joy menggigit bibir, memejamkan mata. Pinggulnya mulai menggeliat gelisah. Dia pun mendesis bagaikan ular.

"Coba lepas biar kamu merasakan tanpa penghalang!"

Lagi-lagi Joy menuruti otaknya, melepaskan pelindung tubuhnya di bawah sana. Menaikkan intensitas getaran. Joy berteriak. Bukan karena kesakitan, tetapi karena sensasi asing namun nikmat memijat-mijat pusat gairahnya.

Mata Joy terbuka sedikit. Di hadapannya terpampang cermin rias setinggi dua meter, selebar semeter. Joy dapat menyaksikan pantulan dirinya yang bergairah dengan kulit mulai memerah. Joy malu, tetapi tubuhnya tidak mau berhenti. Terus saja mencoba berbagai getaran dari alat tersebut.

"Gaun dan bramu perlu dilepas juga, Joy."

Suara hati Joy tenggelam oleh suara dari kepalanya yang menginginkan hormon kesenangan membanjiri. Sedetik saja waktu yang diperlukan untuk melepaskan seluruh benang hingga kini sekujur tubuhnya benar-benar tanpa pelindung.

Joy merasakan kewanitaannya basah. Gelinjangnya semakin liar. Bahkan dia tak dapat mengontrol dirinya lagi. Tangannya meremasi sepasang aset kembar yang membusung indah di dadanya, mencubiti puncaknya yang merah jambu.

Joy berteriak saat dirinya serasa meledak. Napasnya terengah-engah ketika meraih puncak. Apa yang baru dia lakukan? Apa yang baru dia rasakan?

***

Leander terpaku di kasurnya. Dia melihat semuanya melalui pantulan kaca. Mendengar semua erangan dan desahan Joy. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Sungguh, bukan hal semacam ini yang dia harapkan akan dilihat ketika memasang penyadap dan kamera. Bukankah Reza bilang Joy adalah wanita yang religius? Bagaimana bisa melakukan hal ini?

Leander adalah pria dewasa, manusia biasa. Tentu saja dia terangsang melihat adegan ini. Ya, dia ingin terbang secepat mungkin ke apartemen Joy, menggumulinya, menggaulinya, meskipun dia belum pernah melakukan hubungan semacam itu sebelumnya. Namun, bukankah persetubuhan tidak perlu pengalaman atau panduan? Setiap makhluk hidup dapat melakukannya secara instingtif. Bagaimana ini? Tubuhnya sekarang terasa aneh. Otaknya seakan berkabut. Tidak mungkin dia mencelakakan orang hanya karena menuruti hawa nafsu kan?

Leander bersandar tegak, punggungnya menempel ke dinding. Pikirannya sekejap membeku. Cobaan ini lebih berat daripada direndam di sungai selama berhari-hari. Sumpah, Leander lebih kuat menghadapi penyiksaan fisik.

Bayangan tubuh indah Joy tidak mau pergi dari otaknya. Bukit kembarnya demikian indah, terutama saat jemari lentiknya meremasnya. Erangannya yang seduktif terngiang di telinganya. Cara wanita itu menggigit bibirnya saat di puncak, caranya menggelepar sungguh nyaris meruntuhkan iman Leander.

"Nih ambil." Tahu-tahu Reza melemparkan bungkusan menghantam dada Leander.

Bukan main terkejutnya Leander saat membukanya. Sabun dengan lubang di tengah seukuran bagian intimnya.

"Apa ini?"

"Halah, nggak usah sok polos. Mukamu udah kelihatan banget lagi pengen. Mendingan pakai itu daripada kamu ngembat cewek di jalan," balas Reza.

Leander sampai tidak dapat berbicara karena Reza begitu blak-blakan seakan menelanjanginya.

"Nggak perlu malu, Bro. Gue juga suka pakai. Tapi yang itu masih baru kok. Aku bikin banyak," ucap reza sambil menyengir.

Leander meskipun malu setengah mati, mengambil juga sabun bolong pemberian Reza lalu memasukannya ke saku.

"Kamu habis nonton apa memangnya? Bagi-bagi dong kalau ada yang seru. Gue sama Brian juga suka nonton bareng," umbar Reza membuka aib.

Leander buru-buru mengganti sandi ponselnya, lalu membawa serta ke kamar mandi. Nyaris saja dia ketahuan. Misinya belum berhasil. Dia harus tahu siapa Joy dan apa hubungannya dengan orang-orang yang menusuk Serka Imam Herbowo.

***

The J8Where stories live. Discover now