6 - Janji Pertemuan

25 2 0
                                    

Cekrik!

Begitu suara kamera ponsel Hana berbunyi saat ia mengabadikan momen bersama para tamu di depan kuil Asakusa. Kumpulan tamu asal Indonesia itu didominasi oleh ibu-ibu berhijab yang gayanya nyentrik. Sesekali Hana memilih untuk berfoto bersama para tamu bukan hanya untuk dilampirkan pada laporan perusahaan. Tapi, sebagian besar karena ia kesulitan mengingat wajah mereka sehingga berfoto menjadi memori yang bisa Hana ingat selamanya.

"Baik! Ibu-ibu sekalin bisa menikmati waktu sendiri dan berfoto-foto. Kita bakal kumpul lagi dua puluh menit di sini yaa", Hana setengah berteriak menggunakan Bahasa Indonesia melalui mikrofon kecil.

Saat melihat tamunya sudah berlarian mengedari Kuil Asakusa, Hana memperhatikan ponselnya. Hana memperbaiki kerudung cokelatnya saat sadar wajahnya terlihat acak-acakan di depan kamera. Foto-foto itu ia posting di media sosial pribadinya. Hana senang membagikan momen yang juga bisa dilihat oleh banyak orang.

Tenggorokan Hana terasa kering dan cukup parau setelah lama menjelaskan informasi wisata. Hana mengitari tempat wisata ini dan memberi banyak penjelasan. Waktu dua puluh menit yang diberikan Hana untuk tamunya berfoto dan menjajaki Kuil Asakusa bisa ia gunakan untuk sedikit beristirahat saat ini.

Kuil Asakusa memang menjadi tempat wisata favorit di Tokyo. Nuansa kuil merah yang beratap lebar menurun jadi spot foto paling estetik di Tokyo. Meski telah memasuki musim dingin di Bulan Desember, tetap saja banyak wisatawan yang beramai-ramai datang untuk melihat keunikan Asakusa. Hana juga tak pernah bosan dengan suasana Kuil Asakusa yang sudah belasan kali ia kunjungi ini.

Mata Hana menatap sekeliling saat ia bersandar di salah satu bangku di Kuil Asakusa. Tanpa sadar, Yamada-san datang dan duduk di samping Hana. Yamada-san memegang dua botol air minum dan tersenyum melihat Hana.

"Hana-san capek ya?", Yamada-san menyodorkan Hana sebotol air minum.

"Tidak juga, arigatou gozaimasu* Yamada-san", Hana tersenyum dan menerima kebaikan Yamada-san.
*Terima Kasih

Hana memikirkan bahwa inilah pekerjaan yang memang ia sukai, bukan bekerja di balik meja dan tinggal dalam satu ruangan. Sambil meneguk air, Hana kembali mengingat bahwa menjadi seorang pemandu wisata banyak mengajarkannya menjadi lebih mandiri. Bagaimana bisa mengurus keperluan orang lain sementara kita tak bisa mengurus diri sendiri terlebih dahulu?

Dulu, saat tinggal di Indonesia nenek Hana yang selalu mengurusi keperluan Hana. Kini Hana paham betapa sulit dan repotnya melakukan hal yang kita anggap sepele seperti membereskan barang, mengatur peralatan, memasak dan menyiapkan pakaian kita sendiri.
Kadang meski ini adalah pekerjaan impian Hana, Hana seringkali merasa tak bebas. Hana selalu ingin kabur ke tempat lain seperti tempat impiannya yaitu Yunani. Entah menelusuri gunung, pantai, atau taman yang terlihat begitu tenang di sana. Dan Hana tau, Tokyo bukan tempat yang bisa dikategorikan sebagai kota tenang. Kota ini memang tidak pernah tidur bahkan jika Hana sudah tertidur.

Ponsel Hana bergetar dari saku jaket hitam tebalnya. Perlahan Hana menyimpan botol air kemudian meraih ponsel. 'Nomor tidak dikenal'. Apa Hana harus menjawabnya? Hana mengangkat alis dan berpikir mungkin itu telepon dari kantor.

"Moshi-moshi?*".
*Halo

"Um, ini benar Hana Rina dari Reddy Tour Company?", suara rendah lelaki di seberang telepon menggema.

"Ya, benar. Ini siapa?".

Beberapa detik tidak ada jawaban tapi kemudian suara rendah itu kembali muncul.

"Kau memberiku kartu namamu. Kita ketemu di bandara semalam, kau ingat?", suara itu sangat tenang hampir seakan ia mengatur setiap kata-katanya.

Rupanya si pilot tampan semalam. Tentu saja Hana harus bertanggung jawab atas kejadian semalam. Tidak heran mengapa si pilot menelponnya saat ini.

"Astaga, aku hampir saja lupa. Bagaimana dengan tanganmu? Apa ada biaya yang harus kuganti?", kening Hana terangkat.

"Tidak, aku baik-baik saja. Aku hanya ingin bertemu malam ini, apa kau bisa meluangkan waktu?", si pilot berbicara tegas tanpa ragu.

Hmm? Tiba-tiba ingin bertemu? Tapi, untuk apa? Hana ragu harus bertemu kembali dengan si pilot itu. Bukankah ia bisa memberikan nomor rekening saja pada Hana? Daripada harus menghabiskan waktu untuk bertemu. Tapi, bagaimana cara Hana menolak sementara ia juga mencoba untuk bertanggung jawab.

"Aku hanya ingin membicarakan sesuatu", lanjut si pilot menjelaskan.

"Baiklah, mungkin aku bisa bertemu sekitar jam sembilan malam, apa tidak masalah?", Hana melirik jam tangan.

"Ya, tidak masalah. Aku akan mengirimkan lokasinya lewat pesan".

"Baiklah kalau begitu", Hana mengangguk.

Sambil menurunkan ponsel dari telinga, Hana terheran-heran dengan maksud si pilot yang ingin membicarakan sesuatu. Nada suaranya begitu serius. Apa jangan-jangan ganti rugi yang Hana pikirkan ternyata jauh lebih besar dari bayangannya? Tangan Hana mengelus-elus dagu di depan ponsel yang layarnya sudah mati. Hana menjadi khawatir dan seolah dihantui dengan besaran uang yang harus ia keluarkan untuk ganti rugi.

-----

Buat chapter enam agak sedikit pendek tapi tetap jadi chapter paling penting, soalnya dari sini nih kisah mereka bakal dimulai...

Btw aku gak spill karakter di chapter ini, last karakter yang aku spill di chapter selanjutnya.

Keep reading yaa..

See You Again, TokyoOnde histórias criam vida. Descubra agora