twelve : abang

2 2 0
                                    

hari ini adalah hari minggu; jadwal bermalas-malasan gue setelah hari-hari sebelumnya yang selalu gue penuhi dengan kesibukan.

gue meraih kalender di meja belajar gue, lalu mencoret tanggal hari ini.

minggu, 22 november.

295 days to go.

kenalilah gue dengan kebiasaan gue yang selalu counting down the days kapanpun gue memiliki sebuah goal besar. dan satu tahun yang gue janjikan ke emily masih gue hitung hingga sekarang. gue enggak mau ingkar dengan omongan gue sendiri.

tok tok tok

gue menoleh ke arah pintu, dimana ashton sudah berdiri manis seraya tersenyum ke arah gue. banyaknya bulan yang sudah gue habiskan bersama makhluk setengah dewa ini adalah momen-momen berharga untuk gue.

kebetulan gue juga sudah mengenalkannya ke mama papa, saat mereka lebih memilih mengalah untuk liburan ke brisbane sewaktu musim panas. untuk saat ini, kayaknya gue belum siap kembali ke indonesia. kala itu mama dan papa senang gue bisa dekat dengan ashton yang menurut mereka orang baik banget.

"can i come in?" tanyanya yang di balas anggukan oleh gue.

lantas ashton masuk, lalu mendekat ke arah gue dan memperhatikan kalender yang masih gue pegang. dengan gerakan cepat gue langsung meletakkan kalender itu ke dalam laci meja belajar.

bangsat gue malu banget.

"kamu hitung mundur hari dalam setahun?" tanyanya penasaran. "seriusan, lou? se-detail itu?"

gue cuma nyengir dan malu. "hehe, kayak bocil ya?"

"no, of course not." sanggahnya seraya menggelengkan kepala. "that's amazing. maksud aku, kamu mastiin kalo kamu enggak akan ingkar sama ucapan kamu and that's amazing."

"atau lebih tepatnya aku yang terlalu excited."

"louella, cantik." tangan ashton bergerak mengelus puncak kepala gue lalu menepuk-nepuknya perlahan. "wajar dong kalo kita excited sama hal yang kita impikan? there's nothing childish or wrong with that. completely not. aku dulu juga nggak sabaran banget untuk pembukaan resto pertama aku, sampe-sampe tiap hari aku ngecek tanggal berulang kali."

mendengar itu gue hanya tersenyum lega. ashton dan umurnya benar-benar sama dewasanya. dengan berbicara tentang impian gue seperti ini, gue merasa jauh lebih dekat dengan ashton. gue merasa dia adalah sosok kakak laki-laki yang rela melakukan apapun untuk bisa mewujudkan cita-cita adiknya, yaitu gue.

dan gue harap ashton juga melihat gue sebagai adiknya, enggak lebih.

"thanks, ash." ucap gue seraya mendongak ke arahnya.

ia menundukkan badannya untuk berusaha menyetarakan tinggi badannya dengan gue yang sedang duduk. "untuk apa? i gave you nothing."

"ya, nothing." sahut gue seraya mengejek. "don't kidding me, ash. kamu itu selalu nolong aku. pekerjaan jadi guru, antar jemput aku ke kampus ataupun sekolah, dan rencana pekerjaan di kedutaan ini. dan kamu bilang that's all nothing? kamu enggak waras ya?"

ashton hanya terkekeh sebelum meletakkan tangannya di pipi gue, mengusapnya perlahan. "you deserved that, lou."

"dari kamu yang bahkan baru kenal aku kurang dari setahun?" balas gue menyanggah opininya. "that's too much, ash. aku bingung balesnya gimana."

"well..you can if you want to.."

ashton sekali lagi mengelus pipi gue. kali ini lebih pelan dan lembut. gue menelan ludah kasar. mampus gue mampus.

want you back // cthWhere stories live. Discover now