Sebelas

1.9K 363 9
                                    

Akeno memutuskan bahwa (Name) sudah saatnya mendatangi psikiater demi menghilangkan semua trauma sebab tragedi yang menimpa Yuki.

(Name) sendiri tidak berniat menolak mengingat mungkin dia memang benar benar membutuhkan bantuan profesional.

Sudah sebulan ini (Name) rutin mengikuti terapi.

Dan tentang Wakasa, ya, pria itu sepertinya benar benar punya kepala yang terbuat dari batu. Dibanding berhasil membuat Wakasa menyerah untuk mengejar ngejarnya, malah (Name) yang sudah menyerah.

Seperti saat ini contohnya.

(Name) baru saja keluar dari klinik psikiater dan menemukan Wakasa sudah menunggunya di atas motor pria itu.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya (Name).

"Menunggumu." Jawab Wakasa.

"Aku tidak memintamu menungguku. Lagipula aku pulang dengan kakakku." Balas (Name).

"Akeno-san belum memberitahumu? Dia ada lembur malam ini dan memintaku menjemputmu."

Perkataan Wakasa membuat (Name) memincingkan matanya, menatap penuh rasa curiga ke arah pria itu.

Belum sempat (Name) membuka mulut, ponselnya berdering. (Name) tersenyum cerah saat tau itu adalah Akeno yang menghubungi.

"Ah, (Name). Apa Wakasa-kun sudah di sana? Aku meminta tolong padanya untuk menjemputmu." Ucap Akeno di sebrang sana membuat wajah (Name) semakin suram sementara Wakasa tersenyum puas.

"Aku mau pulang sendiri!" Protes (Name).

"Pulang dengan Wakasa-kun atau uang jajanmu kupotong. Sudah dulu ya, pekerjaanku benar benar menumpuk."

(Name) melirik malas ke arah Wakasa.

Wakasa sendiri melepaskan jaketnya lalu menyampirkannya pada kedua bahu (Name). Hal itu membuat (Name) terlonjak kaget.

"Udaranya dingin, jadi kamu bisa memakai jaketku." Wakasa mengacak acak surai (Name).

(Name) dapat menghirup aroma parfum Wakasa yang menempel di jaket pria itu. Aneh sekali. Jantungnya seperti mau meledak.

Apa yang salah dengan dirinya?

Wakasa sendiri masih tampak santai dan memakaikan helm pada kepala (Name).

"Baik, sekarang naik." Ucap Wakasa membuat (Name) akhirnya menurut.

Lagi lagi tingkah Wakasa menguji kesabaran (Name) saat pria itu tidak langsung mengantar (Name) pulang, namun justru mengajaknya mampir ke sebuah kuil yang sudah cukup terbengkalai.

"Ayo naik ke atas." Ajak Wakasa.

"Tidak mau, aku lelah." Alibi (Name).

"Aku bisa menggendongmu." Balas Wakasa.

"Aku akan naik sendiri." Jawab (Name) dan mulai menaiki satu persatu anak tangga itu.

Tingkah (Name) mau tidak mau membuat Wakasa terkekeh. Sebulan ini dia sudah tau bagaimana caranya membuat (Name) menurutinya.

Setelah beberapa menit akhirnya mereka tiba di anak tangga terakhir.

"Sekarang apa?" Tanya (Name) sembari berusaha mengatur nafasnya.

"Lihat ke atas." Wakasa menunjuk langit. (Name) mendongakan kepalanya.

Ia langsung terpesona. Langit malam ini benar benar cerah dengan banyak bintang.

"Cantik sekali." Gumam (Name) tanpa sadar.

Wakasa menuntun (Name) untuk duduk pada anak tangga terakhir itu. Dibanding melihat langit, wajah (Name) saat ini lebih menarik untuk dilihat.

Wakasa's Mine (Wakasa x Reader)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz