91

7.1K 645 173
                                    

Andin sudah kembali ke apartemennya, ketika membuka pintu ia langsung mendengar suara dering telepon. Andin menduga itu adalah Pak Bakti dan benar ternyata.

"Hallo,"
"Iya Pak Bakti, gimana Pak?"
"Dibatalkan?" senyum Andin mengembang.
"Terus gimana Pak?" tanya Andin antusias.
"Tapi Bapak gak kasih tau kan ketemu saya di mana?"
"Ohiya kalau nomor ini gapapa Pak, terima kasih banyak ya Pak Bakti."

Setelah Pak Bakti menutup teleponnya, Andin langsung menerima satu panggilan lagi.

"Hallo?"

"Andin!"

"Mas Al?"

"Kamu di mana, Ndin?"

"Mas, aku-aku-.."

"Kamu pasti udah dengar dari Pak Bakti kan kalau saya batalkan perceraian kita? Saya mau kamu kembali, Ndin."

"Mas.." lirih Andin.

"Apa?" tanya Al pelan setelah tadi sangat bersemangat.

"Kenapa?" Andin tidak lega begitu saja, ia takut semua itu akan terulang lagi, mengingat ini adalah kedua kalinya mereka merencanakan perceraian.

"Kamu di mana? Saya jemput kamu, kita bicara ya."

"Aku seneng kamu batalkan gugatan kamu, tapi kita memang perlu bicara," jawab Andin pelan.

"Iya kamu di mana? Biar saya jemput."

"Kamu kasih tau aku kita mau ketemu di mana, aku ke sana sendiri."

"Biar saya jemput aja ya, Andin," tegas Al.

"Mas, tolong.."

"Oke, di apartemen saya yang kemarin."

"Aku ke sana besok."

..

Andin tersenyum, tapi belum lega. Masih ada yang mengganjal di hatinya, tapi ia juga bahagia.

Tangannya mengelus lembut perut ratanya.

"Besok kita ketemu papa ya," ucap Andin pelan dengan setetes air mata haru yang turun.

Flashback On
Pemeriksaan selesai, Andin dan Dokter sudah duduk di kursi putih dengan meja dokter yang juga berwarna putih di antara mereka.

"Ada mual juga gak, Bu?"

"Mm.. nggak sih Dok."

"Mulai sekarang jangan terlalu banyak pikiran ya, Bu,"
"Jangan stres-stres,"
"Pusingnya Ibu yang tiba-tiba itu efek dari beban pikiran yang terlalu berat,"
"Asam lambung Ibu bisa naik,"
"Pikiran sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuh Ibu,"
.
.
.
.
.
.
"dan janin Ibu," dokter tersenyum di akhir kalimatnya.

"Janin?" tanya Andin bingung.

"Iya, janin di kandungan Ibu,"
"Ibu hamil."
"Selamat ya, Bu Andin."

"Saya-saya-saya ha.. hamil, Dok?" Andin terkejut, sangat terkejut, ia bahkan hampir tidak percaya.

"Iya Bu Andin, Ibu hamil," dokter tidak berhenti tersenyum melihat reaksi Andin.

"Dokter gak salah periksa kan? Coba periksa sekali lagi, Dok," bukannya Andin tidak menerima tapi ia benar-benar sulit untuk percaya, ia juga takut kalau ternyata dokter salah periksa, itu hanya akan menjadi harapan kosong yang melukainya, seperti sebelumnya.

"Saya akan rujuk Ibu ke dokter kandungan ya, nanti Ibu akan di USG juga, jadi Ibu bisa liat si kecil di dalam sana," tunjuk dokter pada perut rata Andin di hadapannya.

Aldebaran & Andin (Married Life)Where stories live. Discover now