BAB 8 - PERUBAHAN (Part 1)

139 7 0
                                    

Suasana di sekolah menjadi terasa begitu berbeda sejak kejadian sore itu. Titik bercahaya dari kejauhan di koridor sekolah tak lagi terasa mengganggu bagi Julie, bahkan sekarang semuanya tak lagi menjadi masalah saat titik cahaya itu justru semakin mendekat dan akhirnya menjelma menjadi seorang anak laki-laki seputih pualam. Anak laki-laki itu pun tersenyum pada Julie, dan Julie membalas senyumannya. Suasana yang aneh dan ganjil itu telah berlalu. Entah mengapa, kali ini hatinya menjadi lebih tentram.

Betul juga. Dunia memang terasa begitu berbeda begitu kau mengubah sudut pandangmu, pikir Julie. Di luar dugaannya, ternyata Richard adalah laki-laki yang menyenangkan. Sama sekali jauh dari kesan angkuh yang selama ini selalu Julie imajinasikan dalam bayangannya tentang si Anak Laki-Laki dari Neraka.

Bahkan suasana di kafetaria pun terasa berbeda. Julie tak lagi merasa punya alasan untuk berepot-repot ria mencari tempat duduk yang paling "strategis"-ia bisa duduk di mana saja sekarang. Tanpa siksaan batin, tanpa tekanan mental.

Ia bahkan bisa begitu riangnya tersenyum ramah dan menyapa Richard ketika mereka berpapasan di kafetaria, bahkan tanpa ragu memilih untuk mengantri bersebelahan. Ini sudah yang kedua kalinya ia mengantri bersama dengan anak laki-laki itu. Tentunya dengan suasana yang jauh berbeda daripada pertemuan sebelumnya.

Julie tak malah mengerti mengapa dulu ia selalu merinding dan ketakutan setiap kali berdekatan dengan anak laki-laki itu. Firasat buruk yang horor dan menyeramkan itu telah beralih seratus delapan puluh derajat menjadi nuansa pertemanan yang menyenangkan. Sekarang rasanya sungguh menyenangkan jika bertemu dengan laki-laki itu lagi. Ia sangat ramah dan lucu.

Atau lebih tepatnya, lugu.

"Bagaimana hasil wawancaranya, Julie? Kapan mulai dipublikasikan?" tanya Richard saat mengambilkan Julie piring dari meja kafetaria. Ia terlihat antusias dengan perkembangan hasil wawancara kemarin sore itu.

"Belum kutulis. Belum sempat," jawab Julie ringan. "Padahal deadline-nya tinggal dua hari lagi."

Julie mengambil piring yang diberikan oleh Richard dan bersiap-siap mengincar makanan favoritnya dari etalase.

"Sebaiknya segera kau kerjakan begitu sempat," saran Richard. "Semakin cepat diselesaikan, semakin baik. Jangan suka menunda pekerjaan."

Nasihat itu terdengar familiar di telinga Julie. Ia pun menghela napas panjang.

Jangan suka menunda pekerjaan.

Nasihat itu nasihat yang sama seperti yang selalu dilontarkan oleh ibunya setiap kali Julie bermalas-malasan, yang biasanya malah membuatnya jadi semakin malas. Entah kenapa, meskipun Richard sekarang mengucapkan kalimat yang persis sama, tapi sensasi yang dirasakan Julie kali ini berbeda.

Do-re-mi.

Mungkin karena pita suara piano itu terasa begitu enak didengar. Halus dan berirama bagai simfoni. Ia merasa jadi lebih ingin patuh.

"Baiklah," jawab Julie. Julie tertawa dalam hati, menertawakan kepatuhannya yang tidak beralasan pada perintah anak laki-laki yang baru diakrabinya ini.

"Kuharap, setelah tugas Sejarah Dunia ini aku bisa punya waktu untuk mengerjakannya. Itu pun kalau Mr. Rupert tidak menambahkan tugas Geometri lagi di kelas nanti siang," ujar Julie.

Julie tersenyum nakal. "Atau," kata Julie. "Kau mau menuliskannya untukku?"

Sebenarnya ia tidak benar-benar sibuk minggu ini. Tugas Sejarah Dunia yang ditugaskan Ms.Watson hanyalah membuat esai singkat tentang Renaissance. Setengah jam dikerjakan juga langsung selesai-Julie paling jago soal karang-mengarang ini-satu-satunya kemampuan yang bisa ia banggakan. Selain itu, Julie pun sebenarnya yakin kalau Mr. Rupert tidak akan memberikan mereka PR hari ini. Hal ini disebabkan karena akan ada kuis di kelas mereka setelah jam makan siang. Mr.Rupert tidak memberikan PR di hari yang sama saat ia mengadakan kuis.

Friday's Spot: JULIE LIGHT & KELAS PRANCISWhere stories live. Discover now