BAB 4- Pertanyaan yang sama, pendapat yang berbeda.

1.3K 131 0
                                    

Soka masih setia menemani Lava duduk di pinggir jalan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Soka masih setia menemani Lava duduk di pinggir jalan. Beberapa menit setelah pembahasan tentang awan tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Soka yang menikmati wajah Lava yang memandang langit malam penuh bintang.

"Lo kenapa?" Soka mencoba untuk bertanya tentang keadaan Lava.

"Karena ayah lo?" Soka kembali berujar karena Lava masih diam tanpa berniat untuk menjawab.

"Gue bingung harus gimana." lirih Lava terdengar sangat putus asa.

Tanpa dia duga Soka menyempatkan tangannya untuk mengelus pundaknya. Dengan lembut seraya memberikan ketenangan.

"Hari ini lo udah nangis?"

Lava menatap Soka dengan bingung. Kenapa pertanyaan itu sangat terdengar aneh di telinganya. Bahkan, seumur hidupnya tidak ada yang bertanya tentang hal tersebut.

"Maksud lo?"

"Daripada lo kebut-kebutan kayak tadi, lebih baik lo nangis. Iya sih, nangis nggak akan bisa bikin masalah hilang gitu aja. Tapi setidaknya, lo bisa mengeluarkan sedikit beban dengan tangisan itu. Dan hal itu lebih baik."

Entah kenapa setiap kata yang keluar dari mulut soka membuat Lava tersentuh. Biasanya, seseorang akan menyuruhnya untuk berhenti menangis. Tetapi Soka berbeda, lelaki ini justru menyuruhnya untuk menangis.

"Gue boleh tanya?"

"Apa?"

"Lo percaya kalo ayah gue bersalah?"

Soka terdiam. Menatap wajah sendu Lava dengan lekat. Setelah itu dia tersenyum simpul membuat Lava bingung.

"Lo kasih pertanyaan yang sama untuk orang lain?"

Kali ini kalimat Soka yang membuat Lava terdiam. Bagaimana bisa cowok di hadapanya ini bisa mengetahui bahwa semua orang yang dia temui hari ini mendapat pertanyaan yang sama dari dirinya.

"Beberapa aja kok." jawabnya jujur.

"Sekarang gue yang balik tanya, lo percaya sama ayah lo?"

"Dia orang baik. Dan gue percaya kalo ayah gue bukan pembunuhnya." jawab Lava dengan percaya diri.

"Itu lo tau. Lava, lo nggak perlu pendapat orang lain untuk menilai. Karena, pendapat kita sendiri aja udah cukup untuk semuanya. Nggak semua orang akan percaya dengan apa yang kita ucapkan, sekali pun itu benar."

"Lo anaknya mario teguh ya?" Lava heran kenapa Soka selalu saja bisa membuat mulutnya tersekat akan kalimat yang cowok itu ucapkan.

"Ngaco lo!"

"Lo orang pertama yang kasih jawaban yang berbeda. Sekaligus orang terakhir yang menjadi narasumber pertanyaan gue." ujar Lava.

Dari kejauhan ada sebuah sorot lampu taxi yang membuat mata mereka berdua silau. Soka berdiri dari duduknya mencoba untuk menghentikan taxi yang tengah melaju ke arah mereka.

Tepat saat taxi tersebut berhenti di sebelah mereka, Soka berjalan menghampiri Lava yang masih duduk di sana.

"Pulang naik taxi, udah malem." pinta Soka membuat Lava terkejut seketika.

"Lah, terus motor gue?"

"Biar gue yang bawa. Tenang, nggak akan gue jual kok." gurau Soka.

"Terus sepeda lo?"

Soka beralih menatap sepedanya yang rusak. Senyum simpulnya mengambang. "Siapa juga yang mau nyuri sepeda rusak, udah itu jadi urusan gue. Yang penting lo harus pulang sekarang."

Dengan langkah sedikit tertatih Soka mencoba untuk membantu Lava masuk ke dalam taxi.

"Pak, titip anak perawan ya. Anterin tepat di depan rumahnya. Jangan sampe bapak ikut masuk ke dalam rumah, bahaya nanti." ujar Soka yang langsung di beri tatapan tajam oleh Lava.

"Apaan sih lo. Udah pak ayo berangkat."

Akhirnya taxi itu pun pergi dari hadapan Soka. Kini, tugas dirinya untuk membawa motor milik Lava serta sepeda miliknya yang sudah tak berbentuk lagi. Entah apa yang sedang merasuki Soka akhir-akhir ini, Lava perempuan pertama yang membuat dirinya bisa keluar kelas serta berbicara banyak seperti saat ini.

______

Pagi ini, kantor polisi terlihat sangat ramai wartawan. Bukan hanya wartawan saja, beberapa warga juga terlihat berkerumun disana. Beberapa orang melebarkan spanduk yang bertuliskan "Pembunuh harus di hukum mati".

Beberapa menit kemudian yang mereka tunggu telah tiba, sebuah mobil tahanan yang membawa "Graha Praja Angkara" selaku tersangka dalam kasus pembunuhan yang tengah ramai saat ini. Seorang tersangka tersebut turun dengan mengenakan sebuah masker serta topi yang menutupi sebagian wajahnya. Warga yang melihat itu tidak bisa menahan amarahnya dan mencoba untuk menghampiri tersangka tersebut untuk memukul atau memberikan makian. Caci maki mulai terdengar disana.

"Pembunuh!"

"Hukuman mati!"

"Dasar mafia manusia!"

"Manusia bejat!"

Keadaan mulai semakin rusuh, polisi yang mencoba untuk membawa masuk tersangka tersebut sangat kesulitan karena warga yang ingin bertindak lebih. Sampai akhirnya mereka bertindak hingga melepas topi serta masker yang tengah tersangka kenakan.

Prank!

Sebuah gelas yang tengah seorang gadis pegang di depan televisi terjatuh. Lava tidak sengaja melihat wajah sang ayah di layar televisi. Wajah yang lebam akan pukulan, mata lesu yang tersorot disana. Lava melihat semuanya. Lava ingin sekali keluar dan menghampiri sang ayah saat ini, memberikan pelukan yang bisa saja memberi sedikit kehangatan di tubuh sang ayah yang terlihat sangat dingin di sana.

Tanpa Lava sadari, air matanya terjatuh membasahi seluruh wajahnya. Dengan tangan yang gemetar, Lava mencoba untuk mematikan televisinya.

"Ayah, maaf." lirih Lava yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah mencoba untuk sedikit tenang. Lava yang saat itu sudah berubah menjadi Dela memutuskan untuk berangkat ke sekolah.



______

Malam Vren! semoga suka part ini. Sengaja di buat pendek hehe

Yuk share cerita ini ke temen kalian.

DELAVA ( On Going )Where stories live. Discover now