Bagian 2

58 10 0
                                    

30 Januari 2022

__________________________

Lembar 8

Malam sunyi di kediaman ku
Dalam prasangka yang lepas bebas
Kepiluan begitu menggigit
Takdir tak seperti yang di minta
Ketika tangis sudah tak lagi mampu redamkan pedih

Saat senja tak lagi indah ku nanti
Saat bara gairah perlahan padam

Lunaklah sedikit kegetiran
Lipat halus dalam senyuman
Redam sebentar wahai lara
Sekantung janji bahagia ada di depan sana

Jakarta, 19 Juli 2003
Felix Haerudin

________________________

Siang itu surya membara sinarnya. Berhembus angin lembab dan beraroma asin yang pekat. Burung camar bertengger manis di tiang-tiang layar, beberapa di antaranya masih sibuk terbang rendah bercermin pada jernihnya air laut.

Sebuah dermaga tempat kapal-kapal berlabuh, dari yang besar hingga kecil, dari angkutan hingga komersial, dari apik hingga yang reot, dari yang berwarna hingga yang usang, semua berlabuh. Menjatuhkan jangkar, atau sekedar menambatkan tali kapal.

Dermaga ini luar biasa indah. Direngkuh oleh jajaran perbukitan. Berdiri gagah menantang ombak, menyambut saudagar yang datang atau para pelancong dari luar. 

Berdiri seorang diri, Samuel Bimo Lakarsakti. Pria berwajah tampan, otak cerdas bukan kepalang, tubuh tegap nan gagah seperti arti namanya.

Menengok ke kiri juga ke kanan. Tak nampak seorang pun di sana.

Dimana dia?

Teluk itu seolah bisu. Enggan menyapanya.

Kemana semua orang?

Matanya menyipit, kala menangkap sosok manusia bertubuh kurus di ujung dermaga. Seorang pria yang wajahnya tak asing bagi Bimo. Seseorang yang sangat ia rindukan. Seseorang yang selama ini dia harap kehadirannya.

"Karaeng Sikki" ucapnya lirih kala mata keduanya saling bersibobrok meski jauh.

"KARAENG SIKKI!"

Teriakan Bimo merambat memenuhi ruang.

Pria dia ujung sana melambai beserta senyuman. Senyuman yang rasanya masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu.

Kotak rindu yang menyentuh dasar titik yang terdalam kini mengapung kepermukaan. Siap bebaskan kutukan nestapa, lantaran rindu yang kian menumpuk dan di kurung selama ribuan purnama lamanya.

"KARAENG SIKKI"

Hosh hosh hosh

Secepat apapun Bimo melangkah jarak yang membentang di antara mereka tidak juga menipis, yang ada justru sebaliknya.

Tiba-tiba langit gelap. Langit yang cerah seketika lenyap.

"Tidak tidak tidak"

Sosok di ujung dermaga mulai memudar, transparan. Perlahan lenyap.

"TUNGGU!"

Bimo tersentak.

Tubuhnya terduduk di atas ranjang. Sementara peluh membasahi tubuh. Mimpi.

Mimpi yang sama terus berulang akhir-akhir ini.

"Ada apa?" Dia mengusap wajahnya frustrasi.

Weker di atas nakas menunjukan pukul 3 pagi. Masih terlalu dini untuk melakukan aktivitas. Tapi mata seolah enggan di ajak untuk terlelap kembali.

HILANGWhere stories live. Discover now