Bab IV - Makanan

56.6K 7.8K 280
                                    

Bab IV - Makanan

"Ya ampun! Mau ke kantor atau sidang DPR?!"

Gara-gara celetukan Ninda, aku langsung menunduk. Memperhatikan sekali lagi baju apa yang kupakai hari ini. Aku nggak salah ambil kemeja, kok. Nggak mungkin juga salah! Aku nggak punya baju rapi selain kemeja putih yang dibeli untuk sidang thesis tahun lalu.

"Sialan!" Aku memaki, Ninda malah tertawa. Ia merasa puas sudah berhasil mengerjaiku pagi ini.

"Habisnya rapi banget! Berharap Pak Afif naksir ya?"

"Heh! Mulut!"

Aku nggak mengharapkan itu. Lagipula, aku masih anak baru. Pekerjaan baru dan kesibukan baru membuatku hampir lupa bahwa aku memiliki kekaguman khusus pada bosku. Aku terlalu menikmati kebersamaan tim yang menerimaku dengan baik. Kak Nela dengan kebiasaan curhat colongannya, Kak Tina dengan kegalauannya, Joe yang selalu mengeluh dipanggil oleh Pak Kelvin. Sedangkan Mas Bary dan Bang Austin—dia menolak dipanggil Mas, adalah dua orang yang paling tenang diantara kami, mungkin karena mereka sudah melewati umur 30 sama seperti Pak Afif.

Hanya ada dua orang anak baru di tim teknis, aku dan Wina. Dia lulusan Arsitektur UI yang baru masuk kemarin. Sayangnya dia nggak ditempatkan di timku, tapi di tim Pak Bagas. Untungnya karena kami berdua seumuran dan menjadi anak bawang di ruangan, hari pertama dia masuk kerja, kami langsung akrab.

Setelah tiga hari dalam kebingungan, aku mulai diberikan tugas oleh Pak Afif. Kadang tugasnya hanya mendampingi dia meeting dengan para bos besar kemudian dua hari ini aku mulai melakukan kajian awal karena lelang proyek akan dilakukan bulan depan. Meskipun nama paket pekerjaan belum diumumkan, kami biasanya memang sudah mendapat gambaran duluan.

Setahuku, ada dua proyek yang dibidik Pak Eren untuk bulan depan, yaitu proyek komplek kampus riset yang berlokasi di Bandung dan perencanaan Superblok di daerah Maja. Jadi, kami harus fokus dengan baik mempersiapkan dokumen lelang dan juga kajian awal yang baik untuk dua proyek tersebut dan tak boleh melakukan kesalahan saat proses lelang bulan depan.

"Kemeja baru ya?" Dia menunjuk kemeja flanel biru yang kugunakan.

Aku mengangguk. "Mama bilang hadiah karena udah dapat kerjaan baru!" Ucapku bangga.

"Yaampun anak Mama! Nggak sekalian bilang anaknya udah ketemu calon idaman?"

Aku mendengus. "Calon idaman apaan?"

Aku jadi teringat tiga hari yang lalu saat mendampingi Pak Afif untuk rapat bersama bos-bos besar. Pertama kalinya aku melihat sendiri wujud Bu Seira, istri Pak Kelvin yang katanya ditaksir Pak Afif bertahun-tahun. Aku nggak bisa menggambarkan dengan benar tapi aku langsung menyukainya. She's pretty and very cool! Suaranya renyah dan ekspresi seriusnya begitu menakutkan. Namun, ketika rapat sudah selesai, wajah tegang itu berubah menjadi manis. Bu Seira memang tidak sehangat dan se-friendly Bu Minara, tapi dia memiliki setir fokus semua orang.

Aku bahkan nggak menyangka bahwa Pak Afif menyukai perempuan superior seperti Bu Seira. Kupikir dia menyukai perempuan yang agresif seperti Bu Minara—karena lama kelamaan aku mengetahui bahwa dia memiliki sikap canggung. Ternyata jauh diluar dugaanku, dia malah menyukai perempuan tak tergapai seperti Bu Seira.

"Loh?! Katanya udah pergi-pergi sama Pak Afif? Bukannya makin dekat?"

Aku mencibir. "Itu namanya aku nggak tahu diri! Aku, kan, fans dan anak buah yang tahu diri. Sainganku aja Bu Minara. Cinta terpendamnya Bu Seira! Mana punya anak lagi!"

Ninda masuk ke dalam kamarku setelah mendengar itu. Aku keceplosan. "Punya anak? Bukannya dia single?"

Aku mengangkat bahu. "Kemarin pas aku ke proyek museum sama dia, dia video call-an sama anak kecil. Trus dia dipanggil 'Papa'." Aku menarik napas panjang. "Mungkin dia udah nikah tapi nggak bilang-bilang kali."

Selaras | ✓Место, где живут истории. Откройте их для себя