Bab XVI - Terlanjur Menyukai

48.1K 7.3K 384
                                    

Bab XVI - Terlanjur Menyukai

Jika ada keberuntungan di dunia ini, maka kemarin merupakan hari keberuntunganku. Memang keberuntungan bisa datang tiba-tiba bahkan ketika kita sudah putus asa. Aku sibuk memikirkan bagaimana kami berdua canggung setelah cecaranku pagi-pagi tapi ternyata semesta malah membantuku untuk menghindar. Hal itu tidak terjadi. Tentu saja keberuntungan ini dibantu penuh oleh keputusan Pak Afif membawa Mas Bary saat kami Pembuktian.

Dia mengatakan, "Lo ikut kami Pembuktian, Bar."

"Lah? Kenapa gue? Kan, udah ada Sherina!" Mas Bary protes nggak terima.

"Sherina masih baru. Nanti gue kesusahan kalau dia cari-cari dokumen dulu."

"Bilang aja lo nggak mau digoda ibu-ibu."

"Salah satunya," jawab Pak Afif santai. Matanya kembali menangkap pergerakan tak santaiku.

Kenapa, sih? Mataku selalu saja meliriknya! Kenapa nggak mengarah ke Joe saja!

By the way, request Instagram-nya masih belum kuterima hingga siang ini. Aku sengaja belum menerimanya. Tetapi dari kemarin aku sudah stalking posting-an media sosialnya yang berisikan foto-foto alam dan satu beberapa foto yang sepertinya acara keluarga. Kalau pakai instagram begini, kan, nggak ketahuan kalau stalking! Tampaknya aku harus menyusun strategi stalking 101.

Wait.

Kenapa aku harus tetap mencari tahu kehidupannya? Aku sudah berniat melupakan segalanya! Meski saat melihat Pak Afif, aku tetap sebal luar biasa pada diri sendiri. Setengah hati ingin memandanginya, setengah lagi masih sebal dengan sikapnya. Setelah kupikir-pikir ... tingkahnya persis seperti cinta pertamaku yang menyebalkan setengah mati. Dia tahu bahwa aku menyukainya dan menjadi egois luar biasa! Lambat laun ... aku mengerti istilah yang dapat disimpulkan dari tingkah aneh itu adalah takut kehilangan fans.

Aku jelas nggak mau dipermainkan seperti itu! Rasa gondok yang kurasakan kembali menyeruak, mengisi rongga-rongga dadaku, membuat sesak. Tanpa sadar, air mata mulai terproduksi di mataku. Sebelum jatuh, aku mengerjapkan mata agar nggak jadi cengeng.

Sialan. Aku nggak akan pernah mau dipermalukan seperti itu lagi. Tapi aku tahu aku nggak bisa lari, aku nggak pernah juga lari dari masalah hidupku. Ketika Papa mengatakan dengan sangat jelas bahwa kami nggak memiliki uang untuk membiayai cita-citaku menjadi pemusik, aku menerima perasaan kecewa itu dengan baik dan memilih jurusan lain yang  menarik.

Tentu aku berkabung. Hatiku juga terasa sakit saat itu. Masalah ekonomi memang nggak bisa dilawan. Kalau sudah terkena masalah ekonomi ... semua bisa tampak gagal seketika, bukan karena nggak berusaha tapi karena nggak ada kesempatan.

Oleh karena itu, masalah-masalah lain menjadi lebih enteng bagiku. Aku nggak pernah mengurusi perasaan dengan serius. Menurutku, perasaan lebih bersifat fluktuatif, tak bisa diprediksi. Seseorang bisa badmood pagi hari tapi juga bisa bahagia luar biasa di malam hari. Nggak ada yang bisa menebak, termasuk diriku sendiri. Sehingga, aku lebih menggunakan akal sehat untuk mengendalikan diri dan mengambil keputusan.

Tapi, cinta membuatku bodoh.

Aku pernah merasakannya satu kali. Pengalaman yang sungguh nggak penting. Namanya Hansel, dia kakak kelas di jurusanku. Kami satu project bersama saat mengerjakan proyek kelayakan jembatan Prof. Yos. Hubungan kami dari rekan yang dipertemukan Prof. Yos berubah menjadi begitu dekat. Kemudian sangat dekat hingga akhirnya dia memutuskan bekerja di Papua.

Merasa kehilangannya membuat semua yang kulakukan berantakan. Mulai dari tugas-tugasku, proyek bersama Prof. Yos, hingga kehidupan sosialku. Aku terus berusaha melawan diri sendiri untuk terus bangkit setiap hari sekalipun aku sangat ingin menangis.

Selaras | ✓Where stories live. Discover now