Bab XXXVIII - The Queen

53.2K 7.4K 223
                                    

Bab XXXVIII - The Queen

Jemariku terasa basah ketika menyalami tangan Ibu dari laki-laki yang tengah menjadi pacarku itu. Seluruh otot-ototku rasanya tegang luar biasa. Jantungku bergemuruh tak santai. Aliran darahku sepertinya lupa akan kecepatan normal. Disaat aku gempa total di dalam diri ini, wajah di depanku hanya menatapku dengan tatapan datar yang menurutku lebih galak daripada melihat Papa emosi. Aku nggak bisa mengartikan pandangan menilai itu sama sekali.

"Sherina, Bu." Aku memperkenalkan diri, mencoba sangat ramah. Alih-alih memanggil Tante, aku memang lebih nyaman memanggil Ibu pada orang tua teman-temanku.

Sang Mama hanya melirik Mas Afif beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan lagi padaku. "Udah berapa lama pacaran sama Afif?" Nadanya nggak dingin tapi juga nggak hangat. Datar.

Aku menelan ludah.

"Baru, Ma," jawab Mas Afif cepat.

"Kenapa nggak kamu kenalin dari kemarin-kemarin? Harus Mama datang sendiri nyusul Windy dan Tara baru kamu kenalin?" Cerca Mamanya kepada Mas Afif. Sedang anaknya itu hanya mengusap tengkuk sambil menampilkan sorot bersalah juga kebingungan.

"Yeee Si Mama. Windy aja kalau udah mau nikah baru bawa pasangan ke rumah! Apaan, sih, Ma? Memangnya ini zaman baheula?" Tukas Kak Windy, menyadari ketegangan yang tercipta. Bagaimanapun aku nggak expect sama sekali bertemu mama mereka di sini.

"Oma!!" Tara merentangkan tangannya untuk meminta digendong oleh Sang Oma. Seketika, aku menarik napas panjang dan mengembuskan dengan begitu lega. Untung saja kami memiliki Tara yang menggemaskan hingga bisa meminimalisi keadaan canggung ini.

"Mama nggak suka ya Fif, kamu pacaran lama-lama." Mamanya kembali menatapku galak. "Dan, kamu Sherina ... kalau mau bersama Afif, sudah harus mempersiapkan diri untuk ke jenjang lebih serius. Kamu masih muda, sudah pasti mau meniti karier dulu ... pikirkan baik-baik," nadanya terdengar begitu menekan, bahkan aku saja nggak sanggup untuk sekadar mengangguk.

"Ma, apaan sih?! Jadi menyesal kasih share loc sama Mama," Kak Windy masih berusaha untuk menetralkan keadaan. Aku nggak bisa berkata-kata saking kebingungan harus berbuat apa. Sepertinya Bang Haydar sudah menceritakan bahwa Mas Afif memiliki pacar yang terlalu muda kepada keluarga mereka. Aku jadi semakin menggigil.

"Mama bisa mati kalau ada masalah lagi."

Kak Windy dan Mas Afif spontan mematung. Suasana berubah menjadi begitu mencekam. Aku begitu paham ke arah mana pembicaraan ibu-ibu enam puluh tahunan ini. Tubuhku ikut-ikutan membatu.

"Ma, temenin Afif cari mainan sama Tara ya?" Mas Afif mengodeku entah untuk apa. Aku lagi-lagi hanya bisa terpaku melihat Mas Afif menggandeng mamanya dan Tara keluar dari salon ini. Tangan Mas Afif memeluk pundak mamanya dengan erat dan berusaha berbicara entah apa, sepertinya tengah mengatakan sesuatu.

Aku terhenyak ketika melirik ke arah Kak Windy yang mengeluarkan air mata tanpa suara. Air matanya deras sekali sedang matanya hanya menatap pasrah ke depan. Ketika dia menyadari aku mendapatinya tengah menangis, dia buru-buru menghapus air matanya yang sudah luruh dengan kedua tangan dan tersenyum.

"Sherina, maaf banget yaa ... tadi Mama rese mau nyusul gue sama Tara!" Suaranya terdengar bergetar tapi dia berusaha untuk baik-baik saja. "Jadinya gue nggak bisa kucing-kucingan sama Afif yang mau ngajak lo ketemu." Dia terkekeh. "By the way, gue udah selesai nyalon sama Tara, kita ngopi sambil nunggu mereka, yuk? Wait ... gue ke kasir sebentar!" Kak Windy meninggalkanku yang masih terpaku. Lututku begitu lemas. Mendadak, aku ingin sekali menangis tapi aku tahu semua itu hanya memperburuk keadaan.

Dari balik pundaknya aku bisa melihat dengan jelas beban yang selama ini Kak Windy tanggung sendirian. Sekalipun tampak rapuh, di depan semua orang, lebih-lebih Tara, dia tetap menampilkan yang terbaik. Bagaimana perempuan ini bisa begitu kuat? Aku bertanya-tanya.

Selaras | ✓Where stories live. Discover now