Bab VI - Crunchy

51.5K 7.6K 467
                                    

Bab VI - Crunchy

"Makasih, Pak. Udah mau repot-repot antar saya."

"Nggak masalah."

"Hati-hati di jalan." Aku bergegas turun dari mobilnya tanpa menunggu jawaban dari Pak Afif. Jantungku berdisko ria dari tadi, udah nggak bisa ditahan lagi. Aku butuh jarak yang jauh agar organ tubuh satu ini nggak bertingkah seenaknya di dalam tubuh. Aku menarik napas lega ketika sudah keluar dari mobilnya. Lama kelamaan, aku jadi hafal wangi mobil Pak Afif karena terlalu sering nebeng. Dia sempat membunyikan klakson sebelum mobilnya menghilang dari pandanganku.

Aku benar-benar lega.

Aku masuk lingkungan kost dengan gerakan lesu. Sudah dua kali Pak Afif mengantarku pulang dengan alasan searah. Kemarin, aku bisa memaklumi bahwa dia tak ingin terjebak macet sendirian. Namun hari ini? Macet nggak! Malam nggak! Jauh apalagi!

Ini mulai mengerikan.

"Siapa?"

Aku baru akan naik tangga ketika suara Ninda menghiasi gendang telinga. Suaranya yang kadang melengking nyaring membuatku langsung mengenali tanpa menoleh. Kost ini memiliki lift, sih, tapi aku sedang ingin menikmati sore hari dengan menaiki tangga. Sekaligus menjernihkan pikiran. Gedung kost ini memiliki delapan lantai dengan masing-masing lantai terdapat enam kamar.

Setiap lantai tentu memiliki ruang bersama dan dapur umum. Tapi aku jarang menggunakan dapur umum karena boleh masak di kamar. Selain itu, kami juga memiliki balkon yang menghadap ke area parkir dan halaman yang luas hingga sirkulasi udara sangat amat aman apabila ingin memasak di kamar.

Dulu, gedung kost ini hanya terdiri dari tiga lantai dengan fasad memprihatinkan. Sejak direnovasi, lingkungan kost menjadi sangat nyaman hingga kami enggan pindah. Posisinya dekat kemana-mana dan nggak ada peraturan aneh-aneh dari pemilik kost karena rata-rata yang tinggal disini adalah karyawan. Bukan kost putri memang, tapi selama aku tinggal disini nggak ada kejadian aneh-aneh yang terjadi. Kang Sobirin saja hanya datang kalau ada komplain, rumahnya memang ada di jalan gang dekat kost ini.

Aku membalikkan badan dan mengerucutkan bibir, melihat Ninda menyipitkan mata menatapku. Kamarku sendiri berada di lantai tiga, sedangkan Ninda ada di lantai empat. Kami sama-sama ingin memiliki balkon yang menghadap ke area parkir yang luas, jadi salah satu harus mengalah ke lantai yang lebih tinggi. Ninda yang mengalah.

"Ko balik sama siapa tadi?" Tanya Ninda seperti intel, aku mempercepat langkah ke lantai tiga dan mengeluarkan kunci kamarku.

"Pak Afif."

Ninda seketika diam di depan pintuku. Aku membuka sepatu dan masuk lebih dalam untuk menggeser pintu kaca menuju balkon dengan cepat. Udara sore masuk seketika, tapi pikiranku masih juga keruh dan aku memutuskan untuk menyalakan AC sebelum duduk di atas kasurku.

"Nggak mau masuk?" Tanyaku saat melihat Ninda masih berdiri penuh kebingungan.

"Kok dia baik banget sampai antar pulang segala?" Ninda akhirnya masuk ke dalam kamar dan menarik kursi meja belajar. Dia menyilangkan kaki dan tangannya terlipat di depan dada, sedangkan matanya lurus menatapku.

Aku mengangkat bahu tak acuh, sekalipun pertanyaan yang sama sudah bercokol berhari-hari di dalam pikiranku.

"Nggak tahu juga ya," aku berusaha bersikap santai dan menghidupkan televisi, mencari serial drama kesukaanku.

"Aneh banget! Kemarin okelah dia mengantar karena nggak mau kejebak macet sendiri. Sekarang? Dia mulai suka?"

Aku mendengus mendengar ucapan Ninda. "Jangan buat aku kepikiran lah, Nin! Ngaco banget kesimpulanmu."

Selaras | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang