Bab XV - Requested

47K 7.9K 477
                                    

Bab XV - Requested

Umm ... well.

Aku sedikit merasa lebih tenang karena akhir minggu-ku diisi oleh kegiatan bersenang-senang sehingga aku bisa lupa dalam mengingat bahwa ada rasa malu setinggi puncak monas yang berada di depan wajahku sekarang.

Sayangnya, hari Senin nggak bisa dihindari. Ada dua agenda penting yang harus kujalani hari pertama dalam hitungan minggu itu. Pertama makan siang untuk merayakan ulang tahun Pak Afif dan kedua, kami akan pergi ke salah satu hotel bintang empat di Jakarta Selatan untuk proses pembuktian lelang. Untuk kegiatan yang pertama, tentu aku sudah mengantisipasi akan menimbrung bersama Joe atau Mas Bary. Sayangnya untuk agenda kedua, hanya kami berdua—aku dan Pak Afif yang akan menghadiri sesi itu. Aku nggak punya ide harus bersikap bagaimana saat agenda kedua itu terjadi.

Setelah semuanya lebih clear, aku mempercayakan strategi agar nggak merasakan malu sepenuhnya kepada Ninda. Kami akhirnya pergi ke Bandung berempat untuk menikmati akhir minggu, camping. Jujur, nggak ada yang spesial dari acara itu. Ninda, Bang Rino maupun Deva tetap menyenangkan. Sejatinya, kami malah seperti reuni kemarin. Camping, masak mie instan, main uno dan kembali siang hari ke Jakarta.

Hanya satu yang spesial dari kejadian itu. Postingan Ninda yang aku repost di Instagram. Unggahan itu menampilkan bahwa kami seolah-olah pergi double date. Ada tiga foto yang ada di-postingan tersebut, pertama foto mesra Ninda bersama Bang Rino, kedua fotoku dan Deva ketiga foto kami bersama.

"Ko yakin ini bakalan berhasil?"

Ninda berdecak. "Berhasil. Orang-orang bakalan mengira ko pacaran sama Deva. Untung Deva ambil kesempatan peluk bahu ko!" Ninda terkekeh sambil mengedit postingan itu saat kami sudah sampai di kost. Caption Ninda pun seperti kompor meleduk, 'double date?'.

"Kasihan tahu Deva, kayak dikasih harapan."

"Ko juga nggak kasihan sama diri sendiri. Jadi bulan-bulanan Pak Afif! Dia harus tahu kalau ko punya seseorang dulu sebelum makin kepedean."

"Kalau dia suka aku beneran gimana?"

Ninda menghentikan aktivitasnya. "Seberapa yakin?"

Aku menelan ludah membuat Ninda mengangguk mantap.

"See? Aku post sekarang!"

Aku makin merasa gelisah.

"Rin, tenang aja. Ini juga akan jadi pembuktian kalau dia menganggap ko ada atau dia cuma mau mempermainkan ko aja selama ini."

Kalau aku nggak sedang memikirkan perasaan malu pada Pak Afif, aku nggak mungkin menyetujui ide gilanya ini. Aku turut frustrasi setelah unggahan itu ku-repost karena direct message-ku langsung banjir komentar dari teman-teman kuliah yang mengucapkan selamat.  Aku harus menjawab satu persatu bahwa itu bukan seperti yang mereka pikirkan.

Tapi, ide Ninda berhasil.

Postinganku mendapat komentar dari Kak Tina dan Kak Nela yang memang sudah berteman denganku di Instagram. Aku sangat berharap mereka membahasnya saat kami makan siang bersama nanti.

Sumpah. Ini blunder pertama yang kulakukan dalam hidup. Aku benar-benar nggak nyangka Ninda memiliki ide drama begini. Namun setidaknya dia berhasil membuatku tenang bahwa aku nggak perlu khawatir bahwa perasaanku tampak jelas, sudah ada batas kini yang membatasi.

Dan, aku benar-benar berharap Pak Afif mendengar sendiri bahwa aku telah memiliki pasangan atau telah memiliki seseorang.

Pagi-pagi, aku masih sibuk membalas direct message dari teman-teman lamaku. Beberapa ada yang mengatakan bahwa aku balikan dengan Deva, beberapa lagi berasumsi akhirnya aku jadian juga dengan Deva.

Selaras | ✓Where stories live. Discover now