S7

2.5K 324 1
                                    


"Masuk!" Suara itu muncul setelah hampir lima menit Ica berdiri dan mengetuk pintu ruang Sekjur.

Pak Edi, alias Boediono Siwi Subekti, Sekretaris Jurusan Akuntasi sekaligus dosen pembimbing 1 Ica itu tampak sedang menghadap laptop saat Ica masuk dengan mendekap print out proposalnya.

"Arisa, ya?" Ica buru-buru mengangguk saat Pak Edi bertanya. Dia lalu diminta duduk sembari menunggu Pak Edi menyelesaikan sesuatu di laptopnya.

Ruang dengan luas kira-kira 2 x 3 m itu terasa sangat sempit karena Ica menunggu dengan jantung berdebar, khawatir sekaligus excited dengan bimbingan pertamanya setelah sekian lama hanya membayangkan bagaimana rasanya.

"Arisa Widjasari Anrimusti." Pak Edi terdengar bergumam, mungkin sembari membuka file yang Ica kirim di google form saat pengajuan judul. "Sebenarnya kemarin saya sudah baca proposal kamu. Karena kebetulan hanya ada satu mahasiswa binaan saya di penerimaan judul yang kemarin. Dan sejujurnya saya masih belum menemukan hal menarik dari judul yang kamu ajukan."

Debar jantung Ica kian menggila.

"Saya sampai bertanya-tanya kira-kira apa yang dilihat Pak Radit waktu meloloskan judul kamu." Pak Radit itu orang akademik yang bertugas menyortir judul skripsi mahasiswa FEB. "Fokusnya tidak jelas, rumusan masalahnya masih asal. Latar belakangnya juga penuh dengan teori, seperti tidak real kondisi di lapangan. Dan ada banyak lagi kekurangan proposal kamu yang saya tandai kemarin. Tapi intinya itu tadi. Kamu belum mampu menonjolkan sesuatu yang menarik dari judul ini."

"Jadi.. saya harus bagaimana, Pak?" Ica blank, hanya pertanyaan itu yang muncul di kepalanya.

Bagaimana mungkin proposal yang dia kerjakan sepenuh hati bisa terlihat asal-asalan?

"Saya mau minta kamu ganti judul." Ica menelan ludah alot, wajahnya pucat pasi.

Rasanya.. seperti patah hati.

"Tadinya begitu." Pak Edi melanjutkan. "Tapi tadi pagi, saya minta pendapat dari calon dosen baru di sini. Dia minta ijin baca, terus katanya dia suka sama topik yang kamu angkat. Cuma perlu di fokuskan lagi masalah yang mau di teliti."

Ica menghembuskan napas lega. Dia berutang pada siapa pun yang sudah berbaik hati menyelamatkan judulnya di hadapan pak Edi, dan Ica bertekad untuk membalas kebaikan itu dengan segenap kemampuannya.

"Jadi.. saya minta tolong sama dia buat bimbing kamu. Karena kebetulan dulu dia mahasiswa berprestasi di sini. Dia juga baru balik dari studi di luar negeri. Saya rasa akan lebih enak buat kamu diskusi sekaligus ngobrol-ngobrol sama dia." Tambahnya.

Ica mengangguk antusias. "Baik, Pak. Saya akan menghadap beliau dan mendiskusikan tentang judul saya. Kalau boleh tau, saya bisa menemui beliau di mana, ya, Pak?"

"Tidak perlu mencari jauh-jauh. Sebentar lagi dia pasti ke sini. Sekarang masih mengisi kelas saya, mungkin lima menit lagi dia kembali."

Bersamaan dengan kalimat itu, pintu ruangan pak Edi tiba-tiba diketuk dan dibuka tanpa ijin. Pak Edi terlihat tidak keberatan dan justru memasang senyum lebar.

"Ini dia orangnya, Sa."

Ica sontak berbalik dengan penuh semangat. Bersiap menyambut penyelamat hidupnya dengan senyum super lebar. Tapi kemudian matanya membelalak, bibirnya kaku dan tubuhnya menegang.

"Mas Jery?" Desisnya.

"Loh, Ica?" Laki-laki di depan pintu itu juga tidak kalah kagetnya.

"Kalian sudah saling kenal?" Tanya Pak Edi, kemudian beralih menatap mahasiswa kebanggaannya. "Tadi pagi kamu bilang nggak tau, Jer?"

SkripSICK!Where stories live. Discover now