S43

464 53 10
                                    


Halooo, it's been 2 years omg. I'm sorrrryyyyyyy.

TMI, i was living my life, skripsiku sudah selesai, sudah alih profesi dari pelajar jadi pekerja juga. (Mungkin kalau aku ngilang lagi bakal muncul kalau sudah jadi pengusaha, hahaha)

Aku nggak tahu apa gaya bahasaku masih sama, apa masih nyaman dibaca, atau sudah hilang dan hanya jadi susunan kata-kata yang nggak layak baca. Atleast i'm trying, yeah?

And i'm soooo happy to be back here.
Hope you feeling the same, hehe.

Happy reading <3

****

Siang ini cerah, terik. Matahari serasa benar-benar ada di atas kepala. Belum lagi suasana yang penuh sesak, orang-orang berebut keluar gedung seperti gerombolan bebek yang digiring tuannya.

Begitu keluar dari barisan mahasiswa Ica langsung menemukan Donny dan Kafita diujung samping gedung, berdiri tepat di samping gazebo Masjid Raya Pelita Utama. Senyum gadis itu merekah, berniat mengambil langkah lebar saat sadar ia tengah memakai rok songket yang agak menempel di area kakinya.

"Hati-hati dong, mbak. Kalau jatuh bagaimana? Cantik-cantik begini terus nyusruk apa nggak malu?" Suara Kafita langsung terdengar dari radius seratus meter. Meskipun begitu, senyum Ica tidak luntur, tetap berusaha melajukan langkah agar segera sampai ke pelukan ayah dan ibunya.

"Mbak Ica," Sambut Donny seraya merentangkan tangan begitu anak gadisnya sampai tepat di hadapannya. "Ayah so proud of you, Mbak." Ujarnya sembari memeluk erat Ica.

Kali ini Kafita tidak merusak suasana, wanita itu tersenyum hangat sebelum turut merengkuh anak semata wayang mereka, "Selamat resmi jadi sarjana, Mbak Ica," bisiknya.

Hari ini, tepat diusia yang kedua puluh dua tahun lebih sembilan bulan sebelas hari, Ica resmi menyandang gelar S1. Kalau ingin lebih jelas, kini namanya menjadi; Arisa Widjasari Anrimusti, SE.

Setelah empat tahun yang panjang, setelah tangis dan tawa yang terlewatkan, setelah drama semester akhir yang melelahkan, setelah mengalami patah hati pertama yang luar biasa menyakitkan, Ica sampai di titik ini, tumbuh subur setelah diterpa badai.

Sudah tiga bulan lebih sejak pertemuan terakhirnya dengan Si penyebab patah hati, kini Ica sudah siap untuk melangkah maju, memutuskan untuk menjadikan apa yang Ia alami sebagai pembelajaran yang berarti.

Setidaknya Ica jadi tahu, meletakkan harap pada lelaki hanya akan berujung nestapa tak bertepi.

"Happy graduation, Darling!" Suara memekik itu muncul dari sebrang masjid, tepat di area parkir mobil tampak Rani membopong buket super besar.

Ica tertawa tidak habis pikir, bisa-bisanya sahabatnya itu berpikir membawakannya bunga matahari asli yang dirangkai sedemikian rupa. Tinggi dan besar, hampir setinggi Rani sendiri.

"Rani, kok ya kepikiran buat bawa bunga segede itu." Kafita turut cekikikan melihat sahabat putrinya yang kesusahan membawa buket dalam pelukan.

"Halo, Budhe. Halo, Pakdhe." Ujar Rani sembari meletakkan ujung buket di tanah. "HAPPY GRADUATION, DARLING! " Pekiknya lagi.

Ica menyambut pelukan Rani dengan riang. "Thank you, Maharani."

"Doain gue cepat nyusul," Rani merengek dibuat-buat. "Kalau bisa gelombang depan." Lanjutnya.

"Pasti. Pasti gelombang depan giliran gue yang datang ke wisuda lo." Balas Ica yakin. "Makasih banget, ya, Ran. Makasih sudah menjadi sahabat terbaik gue, makasih sudah menemani pintar dan bodohnya gue, makasih sudah selalu ada buat gue." Sambung gadis dengan toga sembari mengeratkan pelukan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 09 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SkripSICK!Where stories live. Discover now