Delapan

2.8K 131 3
                                    

Bab 8

Jangan lupa, masukkan ke favorite, vote bintang juga yaaaa...

Sekitar pukul lima pagi, terdengar seseorang membuka pintu. Revan masuk dengan mata masam dan tubuh lelah. Dia menutup pintu bahkan sambil menguap. Ya, semalam dia hampir tidak bisa tidur karena insomnia.

Setelah melepas sepatu dan meletakkan di rak samping pintu, Revan kembali menguap dan merentangkan kedua tangannya kuat-kuat. Belum puas menguap, sosok yang tengah berbaring di atas sofa membuatnya segera mengatupkan bibir.

"Siapa itu?" celetuk Revan usah kedua tangannya turun.

Revan mulai membungkuk dan berjalan mengendap-endap. Tanpa berpikir, harusnya Revan tahu siapa seonggok daging sintal yang saat ini tengah berbaring di atas sofa.

"Larisa?" pekiknya pelan. "Ngapain dia tidur di sini? Tck!"

"Dasar nggak punya hati!"

Seketika Revan jerjungkat mundur dan membulatkan kedua mata. Larisa mengigau dengan suara cukup lantang.

"Kamu nggak punya perasaan!" cercanya lagi masih dengan kedua mata tertutup. Bedanya, kali ini tangan Larisa terangkat ke udara dan menunjuk-nunjuk kebarsh tak pasti.

Revan mengerutkan kening seraya melipat kedua tangan. Dia membiarkan Larisa terus mengoceh tidak karuan. Hal itu berlangsung beberapa menit, hingga sempat membuat Revan terkekeh. Namun, menit berikutnya racauan itu berubah menjadi isak tangis.

Revan yang kaget lantas melepas lipatan kedua tangan kemudian mendekat dan mencondongkan bada. "Hei! Bangun!"

Isak itu masih terdengar meski tidak ada racauan lagi. Karena tidak mau terjadi apa-apa, Revan akhirnya membangunkan Larisa dengan cara menepuk pipi Larisa.

"Bangun!" seru Revan.

Tepukan di pipi itu akhirnya membuat kedua mata Larisa terbuka. Larisa masih diam, berkedip-kedip menatap sosok Revan yang berada di atas wajahnya.

"Aaaaah!" jerit Larisa tiba-tiba. Larisa terduduk dan memeluk kedua lutut dengan cepat, sementara Revan yang terkejut spontan melompat mundur hingga lutut kaki bagian dalam menabrak siku meja kaca.

"Oh, shit!" cercanya saat itu juga.

Melihat reaksi Revan, Larisa merengutkan wajah dan menggigit bibir. "Maaf," ucapnya lirih.

Revan berdecit kemudian memutar bola mata malas. "Kalau mau tidur jangan di sini." Kemudian Revan melenggak begitu saja masuk ke dalam kamar.

"Ka-kamu ..." kata-kata itu menguap begitu saja ke udara karena percuma juga tidak ada yang mendengar. Larisa pun menghela napas dan memanyunkan bibir.

Larisa pikir Revan tersentuh karena sudah menunggu semalaman, tapi ternyata pria itu tetap acuh dan tidak peduli.

"Sabar, Larisa," Larisa mengembuskan napas serasa mengusap dadanya supaya tetap tenang.

Larisa mengangkat wajah lalu pandangannya menyusuri dinding bagian atas untuk mencari jam dinding. Larisa kemudian berdiri saat mendapati jam itu sudah menunjukan pukul lima lebih seperempat.

Pagi ini menjadi awal yang baru untuk Larisa memulai hidup di apartemen ini. Tidak ada pelayan dan semua tentu harus dilerjakan sendiri.

"Semangat, Larisa!" Larisa menyiku lengan dan mengepal tangan untuk menyemangati diri.

Sementara di dalam kamar, Revan sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Sembari bercermin, dia merasakan bayangan Larisa muncul di sana. Larisa seolah sedang berdiri memandangi Revan sembari tersenyum tipis.

Sadar kalau itu hanya bayangan, Revan mendesah lalu menjatuhkan sisir di meja rias. Dia meraup wajahnya sendiri seperti tengah menyesali sesuatu, tapi sulit mengakui.

"Semoga kamu masih mau bertahan," desahnya berat. "Aku harus benar-benar menyiapkan semuanya sebelum coba menerima kamu."

Revan memejamkan mata sesaat lalu meraih jas dan tas kerjanya. Sampai di luar, langkah Revan terhenti saat Larisa memanggilnya dari ruang dapur.

"Aku buatkan susu dan juga roti bakar," ucap Larisa. "Kamu sarapan dulu," lanjutnya.

Revan masih belum siap jika berada di dekat Larisa untuk saat ini, tapi melihat dia yang begitu tulus, Revan jadi tidak tega. Akhirnya Revan menghela napas dan melenggak munuju meja makan.

Ketika Revan sampai di sana, Larisa tersenyum tipis. "Maaf, aku belum sempat mandi. Takutnya kamu telat makan."

"Hm."

Larisa tidak menanggapi serius reaksi itu karena sebenarnya sudah cukup kebal. Walaupun sejujurnya ia ingin sekali mengamuk di saat Revan sudah mengacuhkannya seperti ini.

Setelah meletakkan selai kacang, Larisa beralih ke waatafel untuk mencuci beberapa perabot yang sempat terpakai. Posisinya yang berdiri tegak, diam-diam menjadi pusat perhatian untuk Revan. Dari belakang, lekuk tubuh itu sangatlah sempurna. Sudah lama sekali Revan tidak melihat kulit mulus di balik baju itu. Terakhir, Revan ingat saat Larisa sedang mandi dan lupa menutup pintu.

Sangat hebat memang. Begitu lama Revan bertahan dengan hasratnya yang begitu membuncah. Jika bersama Julia, Revan hampir tidak pernah berpikiran ke arah sana. Maksudnya ke hal lebih intim, akan tetapi dengan Larisa, Revan merasa ada medan magnet yang seolah coba menariknya.

"Harus berapa lagi aku menahannya?" batin Revan. Lekuk tubuh itu kian terasa indah dan menggoda.

Revan harusnya tidak perlu menahannya menyangkut hal ini. Larisa jelas-jelas miliknya seutuhnya, lalu kenapa selalu ragu dan memikirkan hal lain.

Di saat Revan mulai goyah, perlahan ia menjatuhkan rotinya di atas piring dan tubuhnya mulai terangkat. Dua bulatan itu membuat Revan menelan ludah susah payah. Baru saja berdiri sempurna, tiba-tiba Larisa menoleh. Mata mereka sama-sama membulat dan tertegun.

"Ka-kamu sudah mau berangkat?" tanya Larisa terbata.

Revan yang sudah salah tingkah lantas berdehem dan pura-pura kembali acuh. "Ya, aku sudah kesiangan."

"Oh."

Keduanya sama-sama gugup sampai bingung harus bicara apa lagi. Pada akhirnya mereka berdua saling berbalik badan. Larisa kembali sibuk dengan urusan dapur, sementara Revan sudah cabut meninggalkan apartemen.

"Kenapa aku jadi deg-degan begini?" keluh Revan selama berjalan menyuduri lorong apartemen.

Revan sampai menepuk pipinya beberapa kali supaya bayangan Larisa segera menghilang untuk saat ini.

Ah, sial! Larisa memang sangat cantik. Dia bahkan belum mandi tapi sudah terlihat menggemaskan. Andai saja berani, Revan ingin sekali mengecup bibir ranum yang sempat melongo tadi.

Revan dengan cepat membuka pintu usai mendesis kesal karena otaknya terus terfokus pada Larisa. Rasanya dulu mudah untuk menahannya, tapi kenapa sekarang terasa menyiksa?

Sial! Sial! Sial!

Drt, drt.

"Kamu di mana, Sayang?"

Sebuah pesan masuk ketika Revan hendak melajukan mobilnya. Isi pesan itu seketika membuat wajah Revan berubah masam.

Belum sempat ia memasukkan ponsel ke dalam saku jas lagi, ponsel itu kembali bergetar. Spontan Revan berdecak kesal dan kembali membuka ponselnya.

"Aku sudah ada di kantor kamu. Aku langsung ke ruangan kamu ya."

Astaga! Revan mendengkus kesal lalu lalu meraup wajahnya sebelum kembali memasukkan ponselnya lagi. Namun, sebelum itu, Revan sempat menghubungi bawahannya supaya melarang Julia masuk ke ruangannya. Berikutnya, Dia dengan cepat memakai sabuk pengamannya lalu dengan cepat melajukan mobilnya menembus padatnya jalan raya.

"Wanita menyebalkan!" cerocosnya kesal.

***

Larisa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang