Bab 22
Tentang pagi tadi, Larisa masih belum banyak bicara. Dia hanya ingin tahu seberapa jauh Revan akan berusaha. Tidak lama setelah Revan pamit pergi, Larisa juga ikut pergi. Hari ini Larisa tidak mau bertemu siapapun dan rencananya hanya ingin mengunjungi suatu tempat yang sudah lama tidak ia pijak.
Perjalanan ke sana, membutuhkan waktu sekitar dua jam. Dalam situasi atau masalah yang akhir-akhir ini mengganggu, mungkin dengan berkunjung ke tempat itu akan kembali merasa tenang. Dan tepat pukul sepuluh siang, Larisa pun sampai. Di saat berdiri di jalan masuk, aroma semerbak buka kantil tercium membuat Larisa menarik napas dan mengembus secara perlahan.
Suasana yang tenang di penuhi bunga dan ratusan gundukan tanah itu, membuat Larisa semakin rindu akan sosok ayah dan ibu. Larisa lantas maju, menghampiri tempat di mana ayah dan ibunya beristirahat dengan tenang.
Larisa menabur beberapa macam bunga yang ia bawa. Rasa rindu itu, membuat air mata tiba-tiba menitik membuat Larisa terisak. Setelah bunga tertabur merata, Latisa berjongkok memegang batu nisan milik ibunya.
"Ma, Pa aku kangen sama kalian," papar Larisa sesenggukan. "Aku baik-baik saja, Ma, Pa, hanya saja terkadang aku bingung menghadapi Revan. Dia bilang susah menerima aku karena berpikir aku adalah adiknya. Apa itu bisa menjadi alasan untuk mengacuhkan aku?"
Larisa mengusap air matanya sebelum kembali bicara. "Dia masih menjalin hubungan dengan wanita lain di luar sana. Aku takut kalau mungkin saja aku akan menyerah."
Cukup lama Larisa berjongkok--mengutaran keluh kesahnya--yang ia rasakan selama ini. Berjuang mendapatkan perhatian Revan hingga sering kali berakhir dengan tangisan. Dan setelah puas bercerita, Larisa kini berdiri. Dia mengusap seluruh wajahnya hingga air matanya tak tersisa lagi. Setelah itu, ia pamit pada ayah dan ibunya sebelum pergi.
"Aku sudah merasa cukup tenang sekarang," desah Larisa saat sudah meninggalkan area pemakaman.
Larisa mempercepat langkah dan sampai halte, Larisa berdiri sebentar di sana karena tidak lama setelah itu bus perjalanan ke kota datang. Larisa pun masuk berbarengan dengan beberapa penumpang lain.
Larisa melangkah menuju jok paling belakang. Larisa pikir, jok belakang adalah tempat ternyaman saat naik bus.
"Dani?" celetuk Larisa tiba-tiba. Pria yang duduk di samping jendela menaikkan wajah. "Kamu Dani, kan?" lanjut Larisa.
"Larisa," ucap pria itu. "Astaga, ini sungguh kamu?" Dani membelalak sempurna.
Larisa duduk di jok kosong di samping Dani. "Kamu apa kabar?" tanya Larisa.
Sebenarnya Larisa merasa sedikit gugup karena sudah begitu lama tidak pertemu dengan Dani. Bukan hany itu saja, Larisa merasa canggung karena Dani adalah pria yang dulu begitu dekat dengannya.
"Aku baik. Kamu sendiri bagaimana?" tanya Dani.
Larisa mengangguk. Jujur saja, saat ini jantung Larisa mendadak berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Darahnya terasa berdesir seperti ada getaran aneh yang mendadak muncul. Sudah lama, sangat lama lalu tiba-tiba dipertemukan kembali. Tentu saja Larisa gugup luar biasa.
"Seperti yang kamu lihat," jawab Larisa kemudian.
Mereka mendadak saling diam. Nyatanya bukan hanya Larisa yang merasa gugup di sini, melainkan Dani juga. Di saat melihat wajah Larisa, jujur saja Dani begitu terpesona. Sejak ia pergi meninggalkan Larisa dulu, Larisa masih begitu polos dan seperti anak kecil, tapi kali ini, Larisa begitu dewasa dan elegan.
"Em, kamu mau ke--"
Mereka saling tatap dan hendak melontarkan pertanyaan.
"Kamu dulu," kata Larisa sambil nyengir.
"Kamu saja dulu," balas Dani sambil garu-garuk tengkuk.
Pada akhirnya keduanya saling melengos untuk menghindari rasa gugup dan canggung yang semakin tinggi.
"Kamu mau ke mana atau dari mana?" Akhirnya Dani buka suara setelah beberapa saat saling terdiam.
Larisa duduk rapat sambil tangannya mengusap-usap tas yang berada di atas pangkuan. "Oh, aku baru saja mengunjungi papa, sama mamaku," jawabnya. "Kamu sendiri dari mana?"
"Aku baru saja bertugas di desa ini setengah tahun ini," jawab Dani.
Larisa sedikit memutar posisi duduknya. "Kamu dokter?" tanya Larisa antusias. Dan belum sempat dijawab, Larisa kembali berkata, "Impian kamu jadi dokter benar-benar terwujud."
Dani nampak tersipu malu. Dia sampai terkekeh dan kembali menggaruk tengkuk.
"Hebat kamu!" Larisa sampai bertepuk tangan menyoraki keberhasilan Dani.
Dari ekpresi Larisa saat ini, membuat Dani mendadak tertegun. Kegirangan Larisa mengingatkan akan masa lalu yang sudah lama ingin Dani lupakan. Tingkah Larisa yang kekanak-kanakan, membuat rasa rindu itu muncul setelah lama ia pendam.
Di saat Larisa nenurunkan dua tangan dan kembali duduk tenang sambil tersenyum tipis menghadap ke arah depan, diam-diam Dani mengagumi sosok itu. Wajah oval itu masih saja tetap cantik dan sempurna.
Di halte berikutnya, mereka terpaksa berpisah. Dani turun lebih dulu karena perjalan dia sudah sampai. Sementara Larisa, dia masih membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di rumah.
Larisa tidak langsung pulang, melainkan turun di sebuah restoran untuk makan siang lebih dulu. Rencananya dia juga akan mampir ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan sehari-hari yang sudah habis.
"Hei kamu!"
Tiba-tiba ada seseorang yang menarik pundak Larisa dari arah belakang.
"Kamu?" pekik Larisa saat menyadari siapa orang yang sudah menariknya hingga hampir terjatuh.
"Iya, ini aku." Elle berkata dengan nada kesal. "Aku mau bicara sama kamu," katanya kemudian.
Larisa membuang muka. "Maaf, aku nggak ada urusan sama kamu."
"Enak saja!" Elle bergeser menghalangi jalan Larisa.
"Minggir atau aku aku akan menabrak kamu!" Larisa melotot.
Elle tidak gentar sama sekali. Dia malah melipat kedua tangan dan menatap Larisa dari ujung kaki hingga kepala. Larisa yang merasa risi, ikut menatap aneh.
"Awas, aku mau lewat."
"Eits!" Elle merentangkan kedua tangan masih coba menghalangi Larisa.
Larisa memutar mata jengah dan kemudian ikut melipat kedua tangan sebelum akhirnya mendengkus kesal. "Mau apa kamu?" sungutnya.
Elle mendecit hingga satu ujung bibirnya sedikit terangkat. "Aku hanya minta kamu biarkan Revan untuk bertemu denganku."
Larisa terdiam sesaat seraya memandangi Elle dengan tatapan seolah menunggu. "Lalu?"
Jawaban Larisa membuat Elle melotot dan berdecak hingga kedua tangan terlipat itu terlepas. "Kamu jangan main-main ya!" ancamnya kemudian. "Kamu nggak ada hak melarang Revab untuk kenjauhi aku."
Larisa masih coba bersikap tenang meski sejujurnya ingin sekali kenampar bibir menyebalkan itu.
"Kamu harus tahu kalau Revan masih mencintai aku." Dengan penuh percaya diri Elle berkata sambil mengibas rambut panjangnya.
"Aku tidak peduli."
"A-apa?"
Elle ternganga, sementara Larisa sudah melenggak pergi. Kali ini Elle tidak lagie mnghentikan langkah Larisa, melainkan hanya berdecak kesal dan kemudian ikut pergi. Namun, tentu saja semuanya belum selesai. Elle masih memikirkan cara lain supaya bisa membuat Larisa mundur.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Larisa (TAMAT)
RomanceRate: 21+ Larisa kehilangan kedua orang tuanya di saat umurnya masih kecil. Musibah kecelakaan itu, akhirnya membawa Larisa menemui kehidupan barunya bersama orang asing yang tak lain adalah teman dari kedua orang tuanya. Keluarga barunya begitu men...