Bab 12
Revan terpaksa menyeret Julia ke luar dari apartemennya. Wanita itu sungguh kekeh tidak mau pergi meski sudah Revan usir san cara halus hingga cukup kasar.
Brak!
Revan seketika menoleh usai menutup pintu. Dari arah belakang terdengar seseorang menutup pintu juga cukup keras.
"Larisa," panggilnya dengan nada menyelidik.
Revan mengerutkan dahinya seraya melangkah maju. Begitu sudah sampai di depan pintu, Revan merendahkan badan lalu menempelkan telinga di sana. Revan kembali mengerutkan dahi dan membuka telinga lebar-lebar berharap bisa mendengar suara di dalam sana.
Ceklek!
"Astaga!" Larisa terjungkat kaget.
"Revan?" lanjutnya.
Seperti maling yang kepergok, Revan langsung berdehem dan pura-pura bersikap biasa saja.
"Kamu ngapain?" tanya Larisa heran.
Revan gugup luar biasa dan kali ini entah kenapa sedikit sulit untuk dikendalikan. Dia sampak berdengung lirih dan menggaruk-garuk tengkuknya.
"Aku cuma mau menemui kamu," kata Revan kemudian.
Larisa kembali mengerutkan dahi. Karena tubuh Revan yang tinggi tegap, Larisa sampai harus bejinjit saat ingin melihat-lihat ruangan. Revan yang heran dengan tingkah Larisa akhirnya ikut menoleh.
"Sudah pulang?" tanya Larisa.
Seketika Revan berdecak kecil. "Sudah."
Revan berjalan menjauh dari Larisa menuju ruang tamu lagi. Dia duduk seraya melentangkan kedua tangan di atas sandaran sofa. Ketika kepalanya mendongak ke atas, ia melihat sosok Larisa seperti berdiri terbalik.
"Kamu mau di situ terus?" tanya Revan.
Larisa memilin-milin jemarinya, kemudian menunjuk pintu kamar dengan posisi memunggungi. "Sebaik aku masuk kamar saja."
"Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar?" Revan menurunkan kepala, lantas memutar badan--menyandarkan dada pada sandaran sofa. "Kemari dan ikut duduk."
Larisa akhirnya ikut duduk. Kedua lututnya saling menempel dan dua tangan berada di atas pangkuan. Saat ini Larisa hanya diam, pun dengan Revan. Pria itu sedang fokus menonton acara tv yang baru saja dimulai.
Dalam hati, Larisa mungkin senang karen hubungan Revan dan Julia berakhir. Namun, Larisa kecewa mengenai hal pribadi rumah tangganya yang harusnya orang lain tidak perlu tahu dan akhirnya tahu.
"Maaf, tentang tadi," kata Revan tiba-tiba.
"Hm?" Larisa mengangkat wajah. "Kenapa?"
Melihat ekspresi Larisa, Revan langsung membuang napas dan memutar bola mata jengah. Dia meraih remot tv lalu mengganti siarannya.
"Jadi ... hubungan kalian berakhir?" tanya Larisa ragu.
Revan meletakkan remot cukup keras di atas meja hingga menghasilkan suara yang membuat Larisa menelan ludah.
Begitu tatapan menjurus padanya, Larisa menggigit bibirnya. "Nggak jadi. Kamu nggak perlu jawab," katanya lagi.
Larisa kembali membuang muka dari Revan dan memilih memandangi jari-jari kukunya yang berwana merah di bawah sana.
"Kenapa kamu tanya hal itu?" tanya Revan. Kini Revan sudah mengangkat kedua kakinya--terlipat menghadap Larisa. "Kamu mau menertawakanku?"
Larisa yang mulanya ingin bersikap santai dan menunjukkan bahwa dirinya cukup prihatin dengan selesainya hubungan itu, kini mendadak datar dan pias. Larisa juga sejujurnya senang karena kesempatan mendekati Revan lebih longgar.
Namun, pertanyaan Revan itu membuat hati Larisa merasa seolah tidak dihargai sebagai istri di sini.
"Kenapa kamu harus tanya hal itu?" Larisa balik bertanya.
Revan menyeringai getir dan mendecit lirih. "Kamu pasti sedang tertawa karena hal ini kan. Kamu bahagi hubunganku dengan dia hancur kan?"
Larisa terdiam, menelan ludah dan menahan kelopak mata yang hampir berkedut-kedut. Rasanya begitu sakit mendengar pertanyaan tidak penting itu. Revan sungguh tipe lelaki yang tidak peka sama sekali.
"Kenapa diam?" Revan menaikkan dagu. "Benarkan? Aku tahu kamu sedang menertawakan aku. Tck!"
"Cukup, Revan! Larisa berdiri dengan kedua telapak tangan mengepal kuat. Bola matanya tampak nanar dan memerah.
Di hadapannya, Revan sampai tersentak kaget karena suara lantang Larisa yang menggelegar. Revan yang syok, saat ini masih melongo tidak percaya Larisa bisa bersikap begitu.
"Kamu!" Kini Larisa maju satu langkah dan mengulurkan tangan dengan jari menunjuk. "Kamu apa nggak punya perasaan?"
Revan mengerutkan dahi lalu ikut berdiri. "Apa maksud kamu?"
"Pertanyaan kamu itu membuat aku sakit, kamu tahu!" tekan Larisa. "Di mana perasaan kamu, ha!"
Revan mulai membulatkan mata. "Apa yang salah? Aku bertanya sesuai fakta saat ini kan?"
Larisa mendengus lirih dengan seringaian getir. Dia membuang muka sesaat seraya mengatur napas sebelum kembali menatap Revan. Dan saat sudah kembali menatap Revan, mata nanar itu kini sudah dibanjiri air mata.
"Kamu ..." Larisa kembali majundan kini jaei telunjuknya menakan dada Revan. "Kamu, kamu apa nggak pernah sedikitpun lihat bagaimana perasaan aku?"
Revan terdiam seperti patung, saat Larisa terus menekan-nekan dadanya dengan jari telunjuk begitu kuat. Revan mungkin syok karena baru kali ini melihat Larisa menangia di hadapannya. Dan mata itu, membuat Revan tidak sanggup jika terus menatapnya.
Larisa kini mundur dan menarik isaknya yang semakin banjir. Dia sampai menekan hidungnya sebelum kembali menatap Revan.
"Aku hanya tanya mengenai hubungan kamu dengan wanita itu, dan kamu langsung berprasangka buruk padaku. Hei! Aku ini istri kamu! Aku berhak tanya hal itu, kan? Aku sama sekali nggak menertawai kamu, Re!"
Larisa menundukkan wajah membiarkan tangisnya dengan leluasa mengalir sesuknya. Kini, Revan bisa melihat kedua tangan larisa mencengkeram kuat ujung baju dan tubuh itu bergetar hebat. Revan ingin sekali memeluk Larisa, sayangya terlalu takut untuk melakukannya.
Tidak lama setelah itu, Larisa kembali mendongak usai mengusap kasar wajahnya yang wajah. "Apa aku nggak boleh bahagia melihat sang suami putus dengan kekasihnya?" tanyanya.
Revan masih tidak berani menatap wajah Larisa. Dua mata itu membuat hati Revan terasa sakit dan tangis itu seolah sedang mencabik-cabik raga.
"Jawab, Revan!" Larisa menyeru dan mengguncang tubuh Revan dengan sisa tenaga yang sudah terkuras karena tangis. "Apa aku salah kalau aku senang akhirnya kamu pisah dengan pacar kamu!"
Revan tetap diam membiarkan Larisa terus mengguncangnya. Bagi Revan, pertanyaan yang ia lontarkan tadi hanya sebatas lelucon, tapi tidak menyanka kalau Larisa menganggapnya serius.
"Jawab, Re ...." suara dan guncangan itu melambat dan perlahan tubuh Larisa mundur dan terjatuh di atas sofa.
"Larisa ..." Revan menjatuhkan diri berjongkok di hadapan Larisa. "Aku, aku nggak bermaksud."
Larisa kembali mengusap air matanya lalu tersenyum getir. "Tinggalkan aku sendiri."
"Larisa," kata Revan.
"Aku bilang, tinggalkan aku sendiri.
"Aku sungguh minta maaf. Aku ... aku hanya ... maksudku, kamu tahu aku memang begini kan?" Revan mulai frustrasi sendiri karena tidak tahu harus berbuat apa.
"Tinggalkan aku sendiri," tekan Larisa sekali lagi. "Aku mohon."
Revan hanya bisa berdecak dan meraup wajah penuh sesal sebelum akhirnya meninggalkan Larisa sendirian di ruang tamu. Sementara Larisa yang sudah terlanjur kecewa, kini kembali melanjutkan tangisnya yang tadi terjeda.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Larisa (TAMAT)
RomanceRate: 21+ Larisa kehilangan kedua orang tuanya di saat umurnya masih kecil. Musibah kecelakaan itu, akhirnya membawa Larisa menemui kehidupan barunya bersama orang asing yang tak lain adalah teman dari kedua orang tuanya. Keluarga barunya begitu men...