Sebelas

2.5K 116 0
                                    

Bab 11

Larisa tersenyum ketika gelas berisi jus yang ia bawa sudah mendarat di atas meja. Senyum itu semakin melebar saat ia membayangkan sosok tampan sang suami mulai menikmati jus itu. Larisa sampai tidak sadar sudah mengeratkan kedua tangan di depan dada sembari menutup mata dan senyum-senyum tidak jelas.

"Kamu kenapa?"

Larisa seketika membuka mata dan membenarkan posisi. Dia sudah menjatuhkan kedua tangan dan berdehem untuk mengalihkan rasa gugup.

"Aku ... aku cuma sedang itu ..." Larisa bingung harus ngomong apa.

Sementara Revan, dia memutar bola mata jengah lalu meraih gelas jusnya. Tanpa menoleh pada Larisa, Revan kini melenggak menuju kamar. Sementara Larisa, dia masih terbengong memandangi punggung Revan yang lebar.

"Temani aku tidur."

Grep!

Larisa ternganga seraya membelalakkan dua matanya. "Dia ngomong apa?"

Larisa mendengar kalimat singkat itu, hanya saja kurang yakin apakah sesuai dengan isi otaknya atau tidak. Masih berdiri termenung, Larisa mengetuk-ngetuk bibirnya, coba menebak-nebak kalimat yang Revan lontarkan.

"LARISA!"

"Eh, Iya!" Seketika Larisa terjungkat dan kedua kakinya melangkah cepat menuju kamar Revan.

"Kamu nggak budek, kan?" Suara Revan terdengar lagi.

Perlahan, dengan tangan gemeteran Larisa mulai memutar knop pintu. Bunyi engsel pintu yang bergesekan, mengeluarkan suara khas dan tidak lama setelahnya Larisa pun sampai di dalam kamar.

Grep!

Pintu itu tertutup kembali dan Larisa sudah berdirk dengan kedua tangan mencengkeram ujung bajunya. "Kamu memanggilku?" tanyanya.

Dari atas ranjang, Revan menyeringai kesal. "Kamu pikir aku panggil setan?"

Larisa meringis seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

"Apa kamu mau berdiri di situ terus?" seloroh Revan.

"Em, aku ..." Larisa jadi salah tingkah. "Aku di sini saja," celetuknya kemudian.

Revan duduk tertegak di atas ranjang. Kedua tangannya memegang bantal guling di atas pangkuan, sementara matanya lurus menatap Larisa. Tatapan itu tidak biasa. Ya, Larisa merasakannya.

"Oke, baik. Aku datang." Larisa akhirnya melenggak mendekat dan berdiri di samping ranjang.

Revan kembali duduk bersandar pada dinding ranjang dengan punggung yang diganjal dua bantal. "Duduk," katanya kemudian.

Larisa langsung menjatuhkan diri duduk di lantai.

"Astaga!" pekik Revan saat itu juga. Kepalanya sedikit terangkat melihat keadaan Larisa yang dengan bodohnya malah duduk di lantai. "Kamu ngapain? Tck!"

"Duduk lah," sahut Larisa enteng. "Kamu meminta aku duduk, maka aku duduk."

Revan seketika mendesah dan menepuk jidatnya sendiri.  Dia menggigit bibir dan mulai mrncengkeram bantal guling yang masih dalam pangkuan, gemas.

"Berdiri!" hardik Revan seraya berdecak.

"Tapi tadi kamu ..."

"Aku bilang berdiri!"

Sesegera mungkin Larisa berdiri. Larisa sudah mulai berkeringat dan gugup luar biasa. Jika sedang gedumel di belalang Revan, Larisa selalu berinisiatif untuk melawan, tapi pada kenyataannya lain saat sudah berada dihadapannya. Larisa tidak jauh berbeda seperti kerupuk yang disiram air.

"Kemari," perintah Revan lirih.

Larisa termenung memandangi telapak tangan Revan yang menepuk-nemuk tepian ranjang.

"Jangan sampai aku berkata tinggi."

Wush!

Seketika Larisa menjatuhkan diri di tepian ranjang yang dipersilakan oleh Revan. Larisa duduk dengan kedua kaki menggantung dan dua tangan saling memegang di antara pahanya.

Begitu Larisa sudah duduk, terlihat Revan tersenyun tipis. Namun, tentu saja hal itu hanya Revan yang tahu. Dalam posisi ini, cukup lama mereka saling diam. Revan masih duduk bersandar, dan dia sedang memandangi sebagian wajah Larisa. Revan melihat bulu mata lentik, alis tebal dan bibir yang ranum. Pipinya mulus--natural--hampir tidak pernah tersentuh make up.

Saat Revan masih asyik menikmati wajah itu, tiba-tiba Larisa menoleh. Revan yang merasa kepergok langsung membuang muka dan acuh.

"Em, kamu kenapa sudah pulang?" tanya Larisa. Larisa memilin-milin jarinya menahan rasa gugup.

"Lagi nggak mood," jawab Revan singkat.

Suasana kembali hening. Hampir tidak pernah mereka berdua duduk ngobrol seperti ini dengan jarak begitu dekat. Sekarang, Larisa lebih banya diam, jauh seperti ketika waktu kecil dan remaja. Revan terkadang merindukan Larisa yang aktif dan suka bermanja seperti dulu. Semua salah Revan, andaikan dia tidak selalu mengacuhkan Larisa, mungkin saat ini tidak ada rasa canggung.

Tok! Tok! Tok!

Keduanya menoleh ke atah pintu, lalu kemudian saling tatap.

"Biar aku yang buka," kata Revan.

Revan turun dari ranjang, sementara Larisa masih duduk dengan tenang. Kini dia menunduk memandangi jari-jarinya seraya memikirkan sesuatu yang membuatnya heran. Baru dua hari pindah sudah ada yang berkunjung, mungkinkah wanita itu?

Larisa seketika berdecak dan menarik-narik ujung bajunya dengan kesal. Kedua kakinya menendang-nendang hingga tubuhnya terasa lompat-lompat di atas ranjang.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Revan acuh. Revan berniat tidak mempersilakan tamunya masuk, tapi dengan cekatan Julia menyerobot begitu saja.

"Tentu saja aku mau ngomong sama kamu." Julia melipat kedua tangan lalu menjatuhkan diri di sofa. "Aku nggak suka ya, cara kamu tadi sian." Kini Julia sudah duduk dengan kedua kaki menyilang.

Revan menutup pintu seraya mendesah berat. Dia tidak habis pikir kalau Julia akan datang ke sini dan membahasnya lagi.

"Apa lagi yang mau kamu bicarakan?" Revan berdiri santai di hadapan Julia yang duduk. "Aku nggak ada waktu untuk bahas masalah yang nggak penting."

Julia berdecak dan langsung berdiri. Dia menatap Revan dengan tajam. "Nggak gini caranya, Re! Aku nggak mau ya kamu putusin gitu aja."

"Lalu maunya apa?" salak Revan. "Apa aku harus terima gitu aja diselingkuhi."

"Cih!" Julia mendecit lalu mengangkat wajah. "Kamu menikah saja aku bisa bertahan. Aku selingkuh, kamu mutusin seenaknya."

"Ini beda, Jul!" seru Revan. "Dari dulu kamu juga tahu tentang perasaan aku kan. Kamu sendiri yang bilang mau bertahan. Aku juga sudah kasih tahu resikonya."

"Shit!" Julia mengumpat hingga wajahnya terlempar ke samping. Dia berkacang pinggang satu tangan, dan satu tangan lagi terangkat memijat kening.

"Aku paling benci sama orang selingkuh. Dan oke, aku katakan kalau aku sudah menikah dan harusnya kita memang nggak pernah bersama."

Julia tertawa getir. Kalimat Revan terdengar lucu tapi juga menyakitkan.

"Kamu bisa bilang kalau kamu sudah menikah. Cih! Tidak ada orang yang menikah tapi tidak saling sentuh. Konyol!"

Dari pintu yang terbuka sedikit, Larisa tentu dengan jelas mendengar berdebatan mereka berdua. Bahkan Larisa dengar dengan jelas kalimat menyakitkan yang Julia ucapkan. Selama ini Larisa menyimpan hal itu sendirian, dan ternyata Revan malah membaginya dengan wanita lain.

Mengenai rumah tangga yang tanpa sentuhan, harusnya hanya berdua saja yang tahu. Namun, Larisa tidak menyangka kalau Revan menceritakan hal itu dengan Julia.

"Cukup, Jul. Aku minta kamu ke luar." Revan menunjuk arah pintu. "Kita sudah selesai dan aku minta jangan temui aku lagi."

***

Larisa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang