Kembali Kadaluwarsa

55 3 0
                                    


Malam setelah senja datang, saya masih sibuk dengan pekerjaan sebagai barista di kota Yogyakarta. Memang bekerja sembari kuliah bukanlah hal yang mudah, namun tetapi semua ini pasti memiliki alasan, dan dirinya adalah alasannya. Memperjuangkan segala hal yang sudah terjadi, baik disengaja ataupun tidak. "Sudah cukup lama saya mencintainya, dan mungkin akan selama-lamanya"

Ditempat ini saya sering menghabiskan waktu, tepat di meja persegi panjang, lengkap dengan mesin espresso dan beberapa gelas kaca yang tertata dengan rapi. Semua tersusun dengan rapi selepas dari kegiatan monoton yang saya lakukan sehari-hari.

Hubungan jarak jauh memang bukanlah hal yang mudah, saya harap selamanya itu memang benar ada, bukan hanya ada pada diri saya, namun keduanya. Kegiatan rutin yang kadang terkesan membosankan, beralasan soal jarak, beralasan soal waktu, kesibukan yang menuntut kita untuk lalai satu persatu. Melupakan seberapa pentingnya sebuah kabar, pengertian, dan perhatian yang terbilang singkat namun sederhana.

Di kedai kopi sederhana ini, saya biasa membagikan rasa melalui secangkir gelas kopi. Pesanan Caffe Latte sudah saya terima, tidak membutuhkan waktu lama Caffe Latte sudah siap dihidangkan, lengkap dengan Latte Art berbentuk "Love". Caffe Latte tersebut saya hantarkan sendiri menuju meja orang yang memesannya. "Caffe Latte ya kak? Silahkan". Saya kembali dan melihatnya dari kejauhan, Setelah beberapa lama Caffe Latte tersebut tidak langsung diminum, hingga pada akhirnya Latte Art yang saya buat sudah mulai memudar. Bentuk "Love" sudah tidak ada lagi dan hanya menyisakan sedikit warna coklat yang muram.

Kedalam sebuah imajinasi, saya ditenggelamkan oleh pemikiran yang kurang dewasa. "Apakah mungkin cinta bisa kadaluarsa?Saya harap tidak"

Hari ini kegiatan LDR masih berlaku, namun akhir-akhir ini saya seolah kehilangan kabar dan pengertiannya, entah karena kesibukan, atau memang sudah mulai kadaluwarsa.

Notif pesan singkat berbunyi.

"Ji, sory lagi ngabarin, hari ini aku ada basket"

"Okee-okeee, semangat yaa"

"Udah gitu doang?"

"Lah terus gimana?"

"Apasih kok malah gitu jawabnya" Katanya sedikit kesal.

"..."

Saya sengaja tidak membalas lagi pesan singkat itu, saya malas jika harus memperdebatkan hal yang tidak penting terus menerus. Kebiasaan menjadikan sebuah kebutuhan, tapi bukan itu yang saya mau. Memperdebatkan hal sederhana terus menerus, hingga lupa ada hal yang lebih menyenangkan, yaitu menyederhanakan ego agar tetap satu rasa.

Hingga pada akhirnya setelah beberapa menit, dia menghubungi saya melalui Video Call.

"Ji kamu kenapa sih?" Tanyanya dari video call. Tatapannya masih indah seperti biasa, entah apa yang sedang saya rasakan saat ini. Saya hanya lelah dengan waktu dan komunikasi yang kadang terhambat oleh jarak.

"Gapapa kok Co"

"Yaellahh Jii, jangan ngeselin gitu kek. Eh iya ini kenalin temen-temenku di sini, ini namanya Cik Nad, ini namanya Andin, sama yang ini namanya Kunyuk" Sambil senyum dan tertawa dia memperkenalkan teman-temannya. Seketika saya berfikir, soal apa yang sedang saya rasakan.

"Ji, oii, udahan kek. jangan cemberut gitu. Mukamu jadi tambah aneh tau" Katanya sambil tertawa "Yaudah ya Ji, aku lanjut basket dulu. Babayyy sayang" Lanjutnya.

Terkadang, ada banyak hal yang membuat kita lupa, salah satunya adalah sebuah pemikiran. Jatuh cinta memang bisa kadaluarsa, dan di dalam cinta ada sebuah hal yang jauh lebih luar biasa. Cinta bukan hanya perseorangan, tapi kebersamaan, entah bersama teman ataupun keluarga.

Sudah malam, kedai kopi ini sudah waktunya tutup. Sembari memberes-bereskan barang dan mencuci gelas, dia kembali mengirimkan pesan singkat. "Ji, aku gatau ini LDR ini akan terjadi sampai kapan, tapi yang jelas aku sayang banget sama kamu. Aku tau kita sama-sama jenuh, capek, dll, tapi tolong jangan pergi, aku disini masih butuh kamu"

Malam itu saya ingat dengan hal-hal yang sudah saya perjuangan. Jarak ini memang menyebalkan dan sering kali membuat kelelahan, tapi saya selalu percaya bahwa semua ini hanya sementara. Hingga pada akhirnya saya hanya terdiam sambil duduk di sudut kedai kopi yang sudah tutup. Dengan menyesap kopi sisa yang belum habis saya minum, saya kembali dibuat gelisah soal jarak yang suka mengadu domba. Saya tidak tau dengan apa yang dia lakukan disana, dia bisa saja berbohong, dia bisa saja berpura-pura, semua bisa saja terjadi, dan tugas saya disini hanyalah harus selalu mempercayainya. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SucoWhere stories live. Discover now