Ego Dalam Pelukan Jogja

163 7 0
                                    

      Jogjakarta, kota yang dirindukan banyak orang. Dibalik tawa pasti juga ada duka, apalagi luka. Ada yang bilang "Jangan ke Jogjakarta, kalo tidak siap patah hati" Gimana tidak patah hati, dalam waktu yang singkat mereka diacak-acak dengan kesederhanaan hingga kasmaran, dan dijatuhkan pada pelukan nyaman kotanya. Nanti kalo sampai rumah juga patah hati, kan mereka hanya singgah. Kota ini memang tidak terlalu luas, masih belum modern, apalagi metropolitan. Hanya ada kesederhanaan pada senyum yang ramah, makanan murah, dan gemerlap lampu kota yang terlihat mewah.

      Kota ini memang melankonis, menghadirkan tawa dan air mata secara bersamaan. Hujan baru selesai membasahi pelupuk kota siang itu, meninggalkan sembab yang menggenang di tepi jalanan.

     Dia ke Jogja.

    "Kamu ntar tidur di kos temenmu kan?" Tanya saya.

    "Iya. Sekalian mau istirahat dulu bentar, pegel-pegel nih. Di kereta gabisa tidur" Jawabnya sambil menikmati riuhnya pedagang kaki lima dipinggir jalan malioboro. "Oh iya, ketempat papah besok aja ya, biar enggak kelupaan", lanjutnya. Roda motor terus berputar, diiringi dengan cerita singkat soal ayahnya.

      Banyak yang sudah kita lalui, memanjakan ego dengan konflik kecil yang cukup merepotkan. Sesekali mempertaruhkan rasa percaya pada jarak, atau sekeder rasa rindu yang kian memberontak. Dihiasi demam lampu kota, dia memeluk saya dari belakang. "Nikmatilah sejenak dingin yang membuai, menghadapi ego yang sering saya lakukan itu cukup melelahkan"

      Saya adalah seorang amatiran perihal rasa. Menjaga perasaan tidak semudah menjaga hati. Banyak yang harus diusahakan selain menyamakan. Saya memiliki dunia yang tidak semua orang bisa mengerti, diapun sama. Kita masih dibilang baik-baik saja, hingga akhirnya lupa dengan apa alasannya kita saling mencintai. Kembali pada jarak, apakah peraturan itu diperlukan untuk saling menjaga dan membahagiakan satu sama lain? Jika semua rasa diukur dari seberapa banyak peraturan, maka mau sampai kapan? Sampai meyerah? Sejujurnya, saya sedang bermusuhan dengan jarak. Jarak yang menyebabkan semua ego itu berontak. Mungkin kerinduan yang tidak tau diri, atau memang jarak yang berusaha untuk menjebak.

      Sorenya di Candi Ijo, tempat merayakan patah hati waktu itu. Jingga yang disugguhkan disana sangat tidak masuk akal, warna merah, kuning, orange, dan biru melebur menjadi kesatuan yang menghibur penikmatnya. Namun, Hujan mengguyur dengan sangat lebat. Hari sudah mulai hampir gelap, jingga juga tak tampak dari balik awan. Dengan sepeda motor kami menerobos guyuran hujan.

       Perjalanan pulang memang masih lumayan jauh. Saya tahu dari tadi angin sudah melukai kulitnya dengan dingin yang tajam. Dipikiran saya hanyalah bagaimana bisa segera menghangatkannya. Jaket yang kita gunakan juga sudah basah hingga meresap kedalam.

      "Ini mau kemana sih Ji? Tanyanya sambil menggigil kedinginan.

      "Ntar, lagi konsentrasi" Jawab saya singkat dengan terus berkonsentrasi melawan dingin yang sedari tadi menusuk dada. Saya akan membawanya kerumah untuk memberikan jaket kering untuknya, mungkin ditambah dengan sup jagung hangat, dan coklat panas.

       Sesampainya dirumah, saya bergegas mengambil jaket kering dan mempersiapkan hidangan hangat untuknya. Orang tua saya menghampirinya, namun terlihat dari raut wajahnya sama sekali tidak ada rasa canggung yang membias, hanya obrolan santai yang menghangatkan suasana.

      "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi saya sekarang merasa bahagia"

       Keesokan harinya, siang masih terik diatas kepala. Beruntung hujan tidak turun kali ini. Kita kembali melesat menyusuri jalanan kota Jogja, kemudian melewati perbatasan antara jogja - solo. Tujuan kita adalah daerah Karanganyar, tidak jauh dari kota solo. Disana adalah tempat Ayahnya dimakamkan. Tidak banyak yang saya tahu soal keluarganya, hanya saja dia tumbuh menjadi wanita yang kuat dan hebat.

      "Sini loh Ji, makamnya papah disitu" Ajaknya sembari menarik-narik tangan saya dengan genggamannya. "Nih Pah, kenalin. Ini pacarnya Suco" Katanya didepan makam dengan riang. Saya tahu ada air mata yang sedang dia asingkan.

        Seusai membersihkan dari rumput-rumput liar dan parasit yang mengganggu mata. Kita berdua duduk menunduk didepan makam ayahnya. Di dalam doa saya memperkenalkan diri, memohon ijin untuk menjaga anaknya. Sedangkan dia sepertinya sedang bercerita soal hidup yang kurang adil. Permasalahan dengan keluarga besar yang sering membuat air matanya menetes, hanya itu yang saya tahu, tidak lebih.

      Semalam tidak banyak yang saya lakukan dengannya. Hanya menunggu kabar melalui pesan singkat. Sore ini dia akan bermain bola basket bersama teman lamanya, mungkin hingga larut malam. Ego ini mengembara untuk mencari sebuah kabar, tapi bagaimanapun juga, saya harus bisa mengerti, bahwa jarak tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Jarak hanya memisahkan dua insan manusia, bukan kepercayaannya.

      Hari terakhir yang terlampau singkat. Banyak penyesuaian yang dipaksakan, bukan diciptakan. Cemburu hanyalah untuk orang yang sedang tidak percaya diri dan sekarang saya sedang merasakannya. Kita bertemu sebulan sekali saja belum tentu, tapi masih saja saat bertemu, temu itu masih dibagi lagi dengan temannya. Rasa ego ini hanya bisa dibendung dalam diam, melamunkan apa yang selama ini di harapkan.

     Kita hanyalah sepasang manusia yang sedang dijebak oleh jarak, kemudian dipermainkan dengan rasa yang mudah berubah. Ada kalanya dia cemburu dengan rutinitas yang saya lakukan, posesif dengan sebuah pertemuan, memanjakan ego dengan sebuah kabar yang selalu terasingkan. Membedung rasa tidak ada artinya jika tidak juga tersampaikan. "Mari kita terbuka soal rasa, rasa itu diciptakan bukan hanya untuk dipendam"

      Banyak rasa yang menjelma menjadi kata-kata. Saya berhak untuk menjadi anak kecil setiap ego saya melonjak, diapun juga. Sebelum jarak benar-benar memisahkan, paling tidak sekarang saya mencoba untuk mengungkapkan rasa cemburu yang tersisa.

     "Ji, Maaf ya. Aku kan gabisa egois loh, harus bisa waktu juga kan. Katamu kita harus bisa menghargai waktu? Ya ini salah satu caraku". Jawabnya dengan santai.

    "Kamu kenapa sih jawabnya santai banget? Padahal aku sekarang udah kek ngambek-ngambek gimana gitu"

    "Ya kenapa sih harus engga biasa-biasa aja? Emang mau kalo egomu sama egoku jadi satu?  terus jadi berantem, mau? Kalo gitu ya nanti nanti yang ada kita sama-sama engga bisa ngehargain waktu Ji"

   "Kapan ya kita bisa ketemu terus?"

   "Gatau, tergantung kamu" Jawabnya dengan singkat.

    Perpisahan hanyalah soal waktu dan jarak, bukan untuk membiarkan ego yang kian berkerak. Ego yang membumbung tinggi, mencubu cemburu dengan manja dengan tidak masuk akal. Satu jam lagi kereta berangkat, dan seperti biasa, air mata selalu ada pada setiap perpisahan. Realita menggiring kita di dalam pelukan hangat. "Mau sampai kapan kita terjebak pada sebuah jarak?"

Jogja kembali kesepian dan kembali menunggu.

SucoWhere stories live. Discover now